Sesuatu Yang Belum Kau Tahu
Bimbang, resah, bingung dalam berpacu arah yang akan ku utarakan kata-kata ini.
Memang tal seberapa yang kau tahu, tapi ku tahu lebih dari apa yang kau tahu
Jangkauan bagiku bukan sekedar halangan yang mampu kukirimkan doa dan rindu yang memucuk dan tidak dapat memudar dalam jiwa ini.
Kau tahu?
Apa yang ku tahu?
Mungkin saja kau tahu, tapi tak seberapa jika dibandingkan apa yang aku tahu saat ini tentangmu
Sekecil apapun pesan darimu
Telah mampu membangun semangat yang besar dalam kehidupan raga ini yang mungkin bisa saja suatu saat akan lenyap jika kau layu dan tak bisa tumbuh lagi dalam hidupku
Bulan sudah berlalu, tahun pun sudah berganti. Namun tidak dengan rasa ini yang seakan semakin melekat dalam jiwa dan tak akan terkikis oleh terjangan ombak yang bergelora
Pun, jika nanti kau tahu,
Ku yakin pasti kau hanya mengangguk sekedar dengan rautan wajah yang terpancar tarikan senyum akibat paksaan perasaan.
Daripada hal itu terjadi, lebih baik ku simpan saja gelora ini bersama hitamnya malam yang seakan mampu menelisik sedang apa kau disana
#matangkuli'sgirl
Jumat, 24 Februari 2017
Dongeng "Hukum Rimba" Season 1
Dongeng "Hukum Rimba" Season 1
Oleh : Odi Wayuna (Odiismoe)
Di
sebuah negeri, tinggallah sebuah keluarga yang sering disebut Keluarga
"Podih". Keluarga ini tinggal di sebuah Desa yang jauh dari pusat
keramaian dan masih sangat alami alamnya yang bernama "Cota Salla".
Keluarga ini disebut keluarga "Podih" karena adanya seorang anak
laki-laki dan merupakan satu-satunya anak laki-laki tertua di keluarga ini
berama "Podih". Podih adalah anak yang tumbuh dalam keluarga
sederhana dan memiliki kepribadian yang sangat baik serta jujur. Tak jarang Podih
sering menjadi kebanggaan kedua orangtuanya karena Kecerdasannya di Sekolah.
Saat ini Podi sedang bersekolah di salah satu sekolah Dongeng atau di dunia
nyata sering disebut SMP. Podih menjadi salah satu siswa kesayangan para guru
dongen di sekolah negeri dongen tersebut karena keaktifan dan etika sopan
santunnya. Podih adalah anak pertama dari dua adik-adiknya bernama
"Caca" dan "Didil". Caca adalah adik perempuan pertama
Podih yang memiliki paras yang sangat cantik dan baik hati. Walaupun Caca tidak
secerdas Podih, namun kasih sayang orangtua Podih tidak pernah berbeda terhadap
putera-puterinya dalam menyayangi mereka. Caca saat ini juga sedang belajar di
sekolah sihir di negeri dongeng yang berada ditingkat kelas bawah atau setara
dengan SD di dunia nyata. Caca adalah gadis yang sangat jujur dan penyayang
terhadap saudara-saudaranya. Kemudian ada adik Podih yang kedua adalah gadis
mungil yang bernama "Didil". Didil adalah gadis kecil yang belum
sekolah tapi memiliki kepintaran yang sangat jenius. Tak jarang Didil
seringkali memaksa ayah dan ibu Podih untuk menyekolahkannya. Akan tetapi,
setiap kali ibu mendaftarkan Didil ke sekolah dongeng, Didil seringkali ditolak
karena masih usia yang sangat kecil untuk sekolah. Akhirnya ibu mengajarkan
Didil di rumah dan sebelum Didil masuk bangku TK di negeri dongeng, Didil sudah
bisa membaca. Ibu dan Ayah Podih sangat menyayangi putera-puterinya. Setiap
kali Podih mengikuti lomba, tak jarang ayah selalu membelikan piala cadangan
tatkala jika Podih kalah dalam perlombaan di negeri dongeng. Akan tetapi,
meskipun ayah dan ibu Podih sangat menyayangi mereka, ayah dan ibu tidak pernah
memanjakan mereka. hal ini tentu saja menjadi sebuah kelebihan dan pembicaraan
tetangga Podih untuk terus kepo dengan cara mendidik orangtua Podih. Keluarga
Podi adalah keluarga yang sangat sederhana. Ayah Podih memiliki sebuah lahan di
kaki gunung "Baneting" sebagai tempat mata pencaharian keluarga
Podih. Setiap Hari ayah Podih ke Kebun dan bekerja disana. Sedangkan Ibu Podih
hanya seorang ibu rumah tangga yang merawat Podih dan adik-adiknya.
Suatu
Hari, sebuah kejadian besar terjadi di keluarga Podih. Seorang Kakek sihir
datang memerintahkan anak buahnya untuk merampas kejayaan keluarga Podih. Kakek
sihir memerintahkan anak buahnya untuk mengambil lahan Podih karena disana
tanpa sepengetahuan Orang lain di ladang Podih memiliki emas dan permata yang
luar biasa mahal harganya. akhirnya si Kakek sihir pertama kalinya mendatangi
keluarga Podih dan meminta ayah Podih menjual ladangnya untuk si kakek sihir
yang jahat...... Bersambung..............
Sabtu, 10 September 2016
Sang Tokoh dan Idolaku (Abdullah Ibnu Rawahah)
Yang bersemboyan :
Wahai Diri ……..
Jika Kau Tidak Gugur di Medan Juang ……..
Kau Tetap Akan Mati ……..
Walau di Atas Ranjang ..……
Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari duabelas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar.(penolong Rasul). Mereka sedang dibai'at Rasul (diambil Janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai'ah Al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi'ar IsIam pertama ke kota Madinah, dan bai'at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam ....Maka salah seorang dari utusan yang dibai'at Nabi itu, adalah Abdullah binRawahah.
Dan sewaktu pada tahun berikutnya, Rasulullah saw. membai'at. lagi tujuhpuluh tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai'at 'Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai'at itu.
Kemudian sesudah Rasullullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya. Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdulla bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, maka gagalah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.
Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka degan kepandaian tulisi baca. Ia juga seorang penyair yang lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar ....
Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu untuk mengabdi bagi kejayaan Islam .....Dan Rasullullah menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat syair.
Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya: "Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?"
Jawab Abdullah: "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan". Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:
"Wahai putera Hasyim yang baik, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia.dan memberimu keutamaan, di mana orang tak usah iri.
Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.
Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka dan memecahkan persoalan tiadalah mereka henhak menjawab atau membela
Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda,bawa
Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa".
Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya: "Dan engkau pun akan diteguhkan Allah".
Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada 'umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:
"Oh Tuhan, kalauIah tidak karena Engkau, niscaya tidaklah ami akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedeqah dan Shalat!
Maka mohon diturunkan sakinah atas kami dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.
,Sesuhgguhnya Qrang-orang yang telah aniaya terhadap kami, biIa mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang".
Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim yang artinya :
"Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat". (Q.S. Asy-syu'ara: 224)
Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya : Artinya :
"Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya". (Q.S. Asy-syu'ara : 227)
Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan:
"Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!"
Ia juga menyorakkan teriakan perang:
"Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikkan akan ditemui pada Rasulnya".
Dan datanglah waktunya perang Muktah ….Abdullah bin Rawahah adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam.
Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah …ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya;
" Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman
Keampunan dan kemenangan di medan perang
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan ….. Mati syahid di medan perang…!!"
Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang …., pukulan pedang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang berbahagia…!!
Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar duaratus ribu orang …, karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung alhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya ….!
Orang-orang Islam melihat jumlahmereka yang sedikit, lalu terdiam …dan sebagian ada yang menyeletuk berkata:
"Baiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jurnlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi".
Tetapi.Ibnu Rawahah,.bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu berucap:
"Kawan:kawan sekalian! Demi Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah Kita tidak memerangi memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah ... !
Ayohlah kita maju ….! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenagan atau syahid di jalan Allah ... !"
Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: "Sungguh, demi Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah.. !"
Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya.
Kedua pasukan, balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya.
Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja'far bin Abi Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran, dan menyusl pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Dikala itu ia memungut panji perang dari tangan kananya Ja'far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah diantara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat kehebatan tentara romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
"Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga
Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!"
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja'far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).
Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!" Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya …… Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka …. Tetapi waktu keberangkatan sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalananya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid…..
Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya:
"Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku:
Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!"
"Benar engkau, ya Ibnu Rawahah….! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah…..!"
Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa' di Syam, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi ter;liam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatu disebabkan rasa duka dan belas kasihan ... ! Seraya memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata: "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid ..... Kemudian diambil alih oleh Ja'far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula ....". Be!iau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya: "Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia·pun syahid pula".
Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula : "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …"
Perjalanan manalagi yang lebih mulia …….
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …….
Mereka maju ke medan laga bersama-sama …….
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula ….
Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi :
"Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……
Minggu, 04 September 2016
Sesal
Namaku Edi. Aku adalah anak pertama dari tiga
bersaudara. Kedua adik-adikku perempuan. Saat ini aku berkuliah di salah satu
Universitas terbaik di Aceh. Ini adalah kisahku dimana hal yang tidak bisa ku
lupakan dalam hidupku. Sebenarnya sudah ku kubur dalam-dalam kisah ini. akan
tetapi, kisah ini muncul lagi saat aku mengenal seorang mahasiswa seangkatanku
bernama Ardhi. Terasa kejadian 6 tahun yang lalu itu terulang lagi pada detik
ini saat aku melihat Ardhi. Wajah, suara, perilaku, dan tingkahnya 100% sama
dengan teman karibku, Alif. Hanya satu hal yang tidak terlalu mirip adalah saat
diajak bicara. Hanya sedikit saja perbedaan, sedangkan yang lain persis sama.
Setiap kulihat temanku yang baru saja kukenal di organisasi BEM itu, selalu aku
ingin rasanya meminta maaf padanya dan tidak akan kuulangi apa yg telah terjadi
padaku 6 tahun yang lalu. Setiap kali kulihat ia, rasa penyesalan itu datang
lagi setelah mati selama 6 tahun yang lalu. Rasanya Alif berada dalam jiwa
temanku yang satu ini dan aku rasa, tuhan sengaja mengirimkan dia agar aku bisa
memperbaiki kesalahan dan sikapku yg emosional terhadapnya.
Masih kuingat pagi itu 10 Mei 2010 dimana kejadian
itu menjadi hal terpahit dalam hidup ini. Dimana tepat 6 tahun yang silam saat
aku masih duduk di kelas 2 SMP dan aku punya seorang teman yang sudah lama
kukenal. Alif namanya. Ia adalah satu-satunya sahabatku yang paling baik dan
sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Orangnya yang sabar, rajin dalam
segala hal terutama beribadah, berbakti kepada orang tua, dan perilaku yang
sopan dan tidak sombong menjadikan dia lebih unggul daripada aku. Memang aku
belajar banya hal darinya karena aku merasa bahwa masih kurang pengetahuan
dalam hal agama. Seringkali aku dinasehati olehnya dikala mungkin aku menjadi
manusia yang lupa akan sesuatu yang baik. Setiap aku mendapat kebahagiaan, ia tak
pernah merasa iri atau apa. Akan tetapi sebaliknya yg ia rasakan adalah
kebahagiaan yang aku rasakan. Ia seakan selalu ada disaat aku berada dalam situasi
dan kondisi apapun. Pokoknya ia adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Ia
berasal dari keluarga sederhana pula sama sepertiku dan tidak suka
berfoya-foya. Hingga detik ini, ia belum bisa digantikan oleh siapapun sebagai
sahabatku.
Masih ku ingat pagi itu pagi Senin, aku sudah tiba
lebih awal di sekolahku. Walaupun masih jam 6;30, aku sudah berada di SMP
karena harus mengurus peserta upacara bendera paginya sebagai tanggung jawabku
selaku ketua OSIS di SMP tempat aku bersekolah. Sedangkan temanku, Alif datang
setelah 30 menit kemudian tepatnya jam 07:00 wib. Aku sedikit merasa kesal
dengannya karena Alif sebagai ketua bidang berbakti kepada Negara, pagi ini
harus bertugas menyiapkan peserta pelaksana upacara bendera. Tanpa ku pikirkan
kehadiran si Alif lagi, Aku dan teman-teman osis lainnya menyiapkan persiapan
upacara. Setelah aku dan teman-teman lainnya menyiapkan perlengkapan dan
keperluan pelaksanaan upacara, barulah Alif datang dengan raut wajah seolah memilas
kasihan. Aku tidak mempedulikannya karena perasaan marah dengannya akibat ia datang ke sekolah
yang tidak konsisten pagi itu masih belum hilang.
Setelah
upacara bendera selesai dan setelah kubereskan semua perkakas upacara. Sedang
aku membereskan peralatan selesai upacara, Alif datang dan meminta maaf
kepadaku.
“Di, aku benar-benar minta maaf ya. Karena datang
terlambat. Tadi….”
“jadi orang konsisten sedikit bisa? saya sudah susun
semua dari kemarin. Dan anda sudah menyepakati untuk memenuhi semua itu, kenapa
pada hari hal anda tidak menepati sesuai kesepatakan?” Gaya bicara ku yang
formal seakan ingin ku abaikan temanku itu.
“tapi… aku punya alasan kuat di…. Maaf banget.” Dia
memohon.
“sudah, kalau anda tidak bisa konsisten, anda bisa
undurkan diri dari jabatan ini.” Ucapku
sambil bergegas masuk ke kelas. Aku tidak mempedulikan alasan apa yang si Alif
akan katakan untuk membantu ia keluar dari masalah ketidak tepatan-waktunya.
Pagi itu aku
belajar dengan suasana yang agak berbeda. Kurasakan tidak enak karena aku sudah
terlalu bersikap egois dan emosionalku tidak terkontrol terhadap temanku itu.
Padahal kejadian tadi pagi itu tidak harus terlalu dipermasalahkan. Tapi di
lain sisi aku sempat berpikir kalau ini terus dibiarkan, maka orang lain pasti
akan mengejekku dan berkata bahwa aku tidak bisa bersikap konsisten terhadap
bawahan dan aku bersikap tidak adil jika tidak menegur temanku sendiri. Jelas
ini bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pikiranku semakin kacau. Tak lama
kemudian, aku bergegas keluar kelas karena jam istirahat sudah berbunyi.
Seperti biasa aku menghabiskan waktu istirahat di kantin untuk bertemu dg
teman-teman dari berbagai kelas. Jujur saja, aku lebih banyak bergaul dengan
siswa yg berbeda kelas dibandingkan dengan siswa yang ada dalam kelasku sendiri.
Rasanya memiliki banyak teman di luar kelas itu adalah hal yg luar biasa karena
selain memiliki banyak pergaulan, aku juga bisa berbagi banyak pengalaman saat
berada di kelas yang berbeda. Tak terkecuali dengan temanku yang baru saja ku
tegur keras itu. Alif adalah siswa kelas 2E yang jauh dari kelasku yaitu kelas
2B. walaupun demikian, aku dan Alif sudah berteman sejak kami kelas 1 SD. Masih
ku ingat saat itu aku pertama kalinya mengenal ia yaitu saat aku diantar ayahku
ke sekolah untuk pertama kalian. Aku yg masih pemalu dan pendiam saat itu
seakan tidak punya teman. Hanya Aliflah yang selalu berteman denganku hingga
saat ini aku yang sudah duduk di kelas 2 SMP. Pertemanan yang begitu lama itu
tak jauh dari tantangan. Sikapku yang selalu ingin menang sendiri dan egois
mungkin saja membuat setiap orang kesal. Akan tetapi tidak dengan temanku yang
satu itu, ia tetap mengalah walau aku mengata-ngatai dia saat aku punya masalah
dengan akademikku ataupun dengan organisasiku. Aku seringkali melimpahkan amarahku
padanya dikala aku tidak bisa menghandle masalah organisasiku. Aku bahkan
seakan menjadi macan baginya.
Saat hari menjelang siang, tepatnya jam 13:20 Wib. Itu
artinya 10 menit lagi jam sekolah akan segera berakhir. Aku sedikit merasa
kelaparan saat itu karena makanan yg ku makan di kantin tadi tidak begitu
mengisi perutku karena keasyikan ngobrol bareng teman-temanku. Akhirnya 10
menit itu tidak terasa karena sekarang bel tanda pulang sudah berbunyi. Segera
ku bereskan buku-buku yang ada di meja dan ku langkahkan kaki ke depan dan
akhirnya aku sudah sampai di depan gerbang berukuran 3 meter menjulang keatas
dan berlambangkan tut wuri handayani itu.
Biasanya di hari-hari lain, aku selalu menunggu
temanku untuk pulang bareng. Namun tidak dengan hari ini. Aku memutuskan untuk
bergegas pulang sendiri karena aku ingin memberi pelajaran keras terhadap
temanku itu atas keasalahannya agar ia tidak mengulanginya lagi. Sikapku yang
masih labil seakan tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Harus kuakui bahwa
aku hanya bisa memberlakukan pernyataan konsisten terhadap orang lain, akan
tetapi hal itu seakan tidak berlaku padaku.
Setelah beberapa langkah aku berjalan kaki, ku
dengar suara yang memanggilku dari arah belakang. Aku tahu siapa yang
memanggilku. Siapa lagi kalau bukan si temanku itu. Ia rupanya masih ingin
menjelaskan alasan ia terlambat tadi pagi. Akhirnya aku berjalan cuek dan tidak
menghiraukan panggilannya.
“Di, tungguin aku. Aku minta maaf dah gara-gara tadi
pagi itu. Ya memang itu kesalahanku dan aku tidak akan mengulanginya.” Ucapnya
berjanji sambil mengejar langkahku dari belakang.
“Anda itu kalau nggak
bisa konsisten dengan waktu ya, sebaiknya lepas saja jabatan sebagai kabid.
Banyak kok yg masih mau dan mampu untuk
digantikan di bidang anda.” Ucapku.
“Tadi itu…” Ucapannya terputus karena aku
memotongnya.
“Sudahlah, itu alasan klasik anda bukan? Kalau
alasan karena terlambat bangun, itu semua orang bisa. Mendingan sekarang anda pulang
dan buktikan pada ketua anda ini kalau anda bisa menjadi orang yang konsisten
dalam berorganisasi.” Ucapku dengan emosi.
“yaudah deh, tapi dengarkan alasanku dulu Di.
Ini benar-benar beda dari yang alasan biasanya.” Ucapnya masih ingin
menjelaskan.
“Nanti kalau saya sudah punya waktu, saya akan
dengarkan alasan anda. Sekarang sebaiknya diam dan pulang saja dulu.” Ucapku
menutup pembicaraan dan raut wajah serius.
Aku dan Alif berjalan bersama akan tetapi suasana
pulang kali ini hanya diam saja. Dia yang sudah tahu akan sifat asliku seakan
tak mau memperpanjang masalah. Ia paling tahu sikapku bahwa kemarahanku hanya
bertahan paling lama sekitar 10 jam atau 1 hari saja. Setelah itu aku akan
kembali normal. Wajar saja jika ia tidak memperdebatkan itu lagi. Lagipula Ia
selalu menurut apa kataku. Mungkin karena hatinya yang begitu sabarlah yang
membuat ia selalu menjadi anak yang disayangi di sekolah. Andai saja aku
menjadi dia dan berada di posisi dia yang mempunyai seorang sahabat egois,
jengkel dan seemosional aku, mungkin saja sudah ku tendang ke lautan lepas.
Kira-kira 400 meter dari jarak sekolah, aku
berencana untuk membeli keperluan sekolahku di salah satu kedai photocopy yang
berada tak jauh di seberang jalan raya.
“Saya
mau beli perlengkapan tugas dan kertas karton dulu. Anda silahkan berjalan
duluan.” Ucapku masih serius.
“Iya
Di, aku tunggu disini saja. Jangan lama ya,soalnya aku ada les juga sore ini.”
Ucapnya.
Aku langsung bergegas ke seberang jalan dan beberapa menit kemudian aku kembali ke tempat
temanku menunggu. Kuseberangi jalan diantara sela-sela kendaraan yang tidak terlalu banyak dengan beberapa alat
tulis di tangan untuk tugas sekolahku itu. Tiba-tiba saja dari kejauhan ada sebuah
kendaraan motor yang dikendarai oleh seorang pria berjaket hitam seperti orang
mabuk dengan tanpa rem langsung melaju kencang ke arahku. Motor tersebut seakan
tak melihat bahwa ada orang didepannya. Aku hanya tertegun melihat motor yg
melaju kencang itu ke arahku dan seakan tak bisa ku gerakkan kaki. Dari
kejauhan Alif berteriak sambil berlari ke arahku, lalu dengan cepat ia
mendorongku ke seberang jalannya.
“Di
awass!!” itulah kata terakhir yg ku dengar saat dia mendorongku hingga aku
jatuh terbentur pinggiran jalan itu dan tak sadarkan diri. Aku juga sempat
terserempet sepeda motor lain di bagian rusukku hingga kulitku tersobek dan
mengeluarkan darah. Keadaanku sudah tak bisa ku ceritakan lagi. Dunia seakan
gelap dan tak tahu lagi bagaimana keadaannya. Kakiku terbentur beton pinggiran
jalan dan aku terjatuh hingga kepalaku ikut terbentur aspal jalan. Kakiku dan
seluruh badanku mengeluarkan banyak darah akibat terbentur beton dan juga
terkena pingiran pagaran seng karena dorongan dari temanku yang begitu kuat. Orang-orang dengan segera berkerumunan
mendekatiku. Ada yang berteriak dan juga menangis histeris melihat keadaanku.
Dengan segera aku dilarikan ke rumah sakit. Kaki
kiriku mengeluarkan banyak darah dan mengalami patah tulang terbuka. Tidak tahu bagaimana
ceritanya aku bisa sampai ke rumah sakit. Akhirnya setelah 1 jam aku tak
sadarkan diri, jam 4 sore aku kembali siuman. Kurasakan keadaan yg tidak
biasanya. Terpasang di tangan kanan dan kiriku impuls yg dilengkapi dengan
berbagai peralatan yg mengerikan yg ada di rumah sakit yg sering ku lihat saat
aku berkunjung. Nafasku seakan tak bisa ku hembuskan. Banyak orang dan keluargaku
yg berdiri di dekat ranjang tempat aku terbaring. Aku hanya bisa mengedipkan
mata dan tak bisa mengeluarkan suara. Ibuku dan ayahku seakan tak mau
mengeluarkan kesedihannya didepanku. Hal ini tampak matanya yg berkaca-kaca.
Mereka seakan menahan tangisan yg dipendam karena sayangnya terhadap anaknya
dalam keadaan terbaring saja di rumah sakit.
Keadaanku saat itu benar-benar sangat tragis. Kaki
kiriku yang dibidai dan seluruh wajahku yg lecet terkena aspal dan lembam. Aku seakan menjadi manusia yang tak berdaya. Sempat
kubayangkan bahwa aku sudah tidak memiliki kesempatan untuk hidup lagi. Sesaat kemudian
aku menyadari bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan, dan hal pertama yg
kutanyakan pada orangtuaku adalah dimana temanku itu. Mengapa ia tidak tampak
semenjak aku sadar dari tadi. Mereka mengatakan bahwa temanku itu baru saja
pulang setelah membawakan aku ke rumah sakit karena keadaannya yg sedikit
demam.
“Tadi si Alif memang disini tunggu kamu sadar,
sekarang dia sudah balik dulu ke rumah karena nggak enak badan. Lagipula dia belum ganti baju sekolah yang kena
darah kamu. Nanti dia juga balik lagi.” Ucap ibuku.
Sementara itu aku hanya mengangguk kecil dan percaya
apa yang dikatakan oleh ibuku. Aku sempat merasakan pegal di kakiku karena
kehilangan banyak darah. Hal ini membuatku tidak bisa bergerak sama sekali dan
hanya terbaring seperti mumi yang ada di film-film.
Dua bulan telah berlalu. Keadaanku yg menjalani
terapi obat tradisional di rumah akhirnya membaik. Sudah hamper dua bulan aku
dibawa pulang ke rumah karena beberapa minggu dirawat di rumah sakit. Namun,
Alif tak seharipun tampak menjengukku. Hal yang membuat aku bingung dan
penasaran. Saat kutanyakan kemana temanku itu, kenapa ia tidak pernah tampak
semenjak aku dirawat di rumah sakit hingga aku dibawa pulang ke rumah. Setiap
kutanyakan kepada orangtuaku, mereka hanya menjawab bahwa sahabatku itu sibuk
dan belum sempat menjengukku. Lagi-lagi kutanyakan dengan pertanyaan yang sama.
Namun, jawabannya hanya dengan alasa bahwa temanku datang disaat aku terlelap.
Jadi, ia tidak berani menggangguku tidur. Aku sempat curiga dengan sikap dan
pernyataan keluargaku. Aku juga sempat beranggapan apakah temanku itu masih
marah denganku atau ada alasan lain sehingga dia tidak pernah tampak semenjak
aku dirawat di rumah sakit hingga aku kembali ke rumah. Hingga pada suatu hari
aku kembali mencoba mencari tahu kepada teman-temanku tentang Alif temanku. Ku
kirim SMS ke salah satu kawanku dengan trikku agar aku tahu apa yang sebenarnya
terjadi dengan temanku itu. Akan tetapi teman-temanku tak ada satupun yang
tahu. Jawaban mereka sama seperti apa yang ayah dan ibuku jawab. Mereka berkata
bahwa Alif pergi sekolah setiap hari.
Hanya saja mereka tidak tahu kenapa Alif tidak pernah datang menjengukku.
Padahal seluruh teman-temanku dan guruku sudah datang menjenguk keadaanku.
Bahkan orangtua Alif juga sempat datang beberapa hari yang lalu. Aku tidak
percaya bahwa sikap temanku itu yang selama ini sabar tetapi berubah dalam
sekejap menjadi orang pendendam. Aku tahu betul sifat dia seperti apa. Tidak
mungkin hanya karena masalah pagi itu ia menjadi marah padaku.
Ternyata tak selamanya mangga bisa disembunyikan.
Sewaktu-waktu akan tercium pula baunya. Akhirnya, alasan kenapa Alif tidak
pernah hadir menjengukku terbongkar saat aku ngotot menanyakan ke salah seorang kakak kelasku. Hingga aku
menerima pesan sms dari kakak kelasku.
“Loh, kamu
tiak tahu Di. Maaf kakak harus ceritakan ini padamu. Tapi kamu harus janji kamu
bisa sabar menerima ini ya.” Balas kakak kelasku.
“iya kak. Saya janji. Bisa kakak katakan kemana Alif
selama ini?” Balasku lagi
“Sebenarnya Alif sudah meninggal 2 bulan yang lalu
Di. Kami sengaja tidak menceritakan ini padamu karena keadaanmu yang masih
kritis saat itu. Kamu yang sabar ya” Balasnya lagi.
“Loh !! yang benar saja kak? Kakak jangan bercanda
ah.” Balasku
“Iya Di, beneran
kok. Dia meninggal tepat dua bulan yang lalu yaitu hari kamu kecelakaan itu.”
Tegasnya dalam pesan SMS-nya.
Tanpa ku balas lagi pesannya. Aku hanya terkejut tak
percaya dan seakan disambar petir di siang hari saat tahu bahwa temanku sudah
meninggal tepat 2 bulan yang lalu. Aku merasa bersalah karena aku merasa
bukanlah sahabat yang baik baginya. Sahabat macam apakah aku, temanku meninggal
saja tidak tahu. Apa aku layak dikatakan sahabat? Dan kenapa secepat itu ia pergi? kenapa sampai
hati ayah dan ibuku menyimpan rahasia sebesar ini dariku. Kesedihanku tidak
bisa ku bending lagi. Rasanya penyesalan itu datang berangsur-angsur dalam
hatiku.
Setelah ku pastikan dari kakak kelasku, malamnya ku
temui ayah dan ibuku. Kutanyakan dan ku perjelas bahwa kenapa selama ini mereka
membohongiku. Berita sebesar ini bisa mereka rahasiakan dariku selama 2 bulan
lebih. Akhirnya Ayah dan ibuku memperjelas bahwa ini semua demi kebaikanku. Aku
tidak marah terhadap mereka, karena aku tahu alasan mereka termasuk logis
karena ini demi kebaikanku juga. Mereka tidak ingin aku strees dan akan memperlambat
kesembuhanku karena jika mengetahui temanku yg sudah bersamaku itu sejak masih
kelas 1 SD tersebut sudah tiada dengan sebab-akibat menolongku dari kecelakaan
saat itu. Tak bisa kukeluarkan kata-kata apapun saat itu. Tidak ada air mata yg
keluar karena aku tidak tahu harus kucurahkan dalam bentuk apa kesedihanku.
Ternyata saat aku dilarikan ke rumah sakit, takdir
lain telah terjadi pula bersamaan saat aku pingsan pada diri temanku saat itu.
Menurut cerita saksi dan orang-orang yang berada di tempat saat itu, ternyata Alif
masih ditengah jalan saat aku telah didorongnya dari ancaman maut tabrakan
motor yg hampir menabrakku. Tanpa sempat ia mengelak lagi dari posisi dimana ia
mendorongku, sebuah truk besar bermuatan sepeda motor dengan laju yg kencang dari
belakangnya langsung melaju kearah temanku itu dan menjadikan keadaannya tak
bernyawa di tempat itu juga. Alif mengalami cedera dalam yang cukup parah. Hal
ini tampak pada sekujur tubuhnya yang tidak terluka namun hanya darah yang
mengalir dari telinga dan mulutnya. Hanya itu saja yang dikatakan oleh
orang-orang yang ada di lokasi saat itu yang melihat keadaan temanku. Hingga
saat ini aku tidak tahu apa saja yg terjadi pada temanku itu karena aku tidak
bisa mengingat ulang kejadian saat itu.
Langsung ku hubungi salah satu teman sekelasku. Ku
minta dia mengantarkanku ke makam temanku itu. Aku masih tidak percaya dengan
apa yang ku dengar dari orang-orang di sekitarku. Apakah mereka hanya berbual
atau apa entahlah. Aku ingin memastikan langsung ke tempat peristirahatan
terakhir temanku itu.
Aku langsung diantar oleh temanku ke makam Alif.
Sesampainya disana, dari kejauhan kulihat sebuah makam yg sudah agak lama dan
tepat di nisannya bertuliskan nama temanku “Alif bin Zulkifli” dan tertulis
pula tanggal meninggalnya tepat dimana 2 bulan yang lalu saat aku mengalami
kecelakaan yg hampir merenggut nyawaku yaitu 10 Mei 2010. Bersimpuh aku didepan
makam sahabatku itu. Kalian juga tahu bagaimana yang aku rasakan saat itu,
merasa bersalah, berdosa, sekaligus berjasa dengannya. Aku yang tidak
mendengarkan apa alasan dia terlambat pagi itu menjadi hal misteri terbesar dan
ingin sekali ku tanyakan padanya jika waktu bisa diputar kembali.
“Lif, aku minta maaf. Aku benar-benar teman yang
tidak tahu balas budi, aku jahat lif. Aku minta maaf lif, sekarang katakan
padaku apa alasan kamu terlambat saat itu. Aku mohon Lif, aku akan dengar semua
itu. Aku belum layak menjadi sahabatmu lif.” Aku meminta maaf terhadapnya. Aku
seperti orang gila yang dirundung rasa bersalah dan penyesalan dengan sikapku. Aku
benar-benar tidak menyangka bahwa takdir berkata lain. Air mataku saat itu
tidak bisa ku bendung lagi. Aku merasa bersalah sekali dengan temanku itu.
Kata-kata terakhir yang sempat ku dengar adalah seruan dia yang mengatakan awas
dan mendorongku dari tabrakan motor saat itu. Aku tidak tahu harus apa.
Penyesalan seakan menjadi hal terbesar yang harus ku akui yang terjadi dalam
hidup ini. Ini semua akibat keegoisanku.
“di sabar di. Udah kok, dia pasti memaafkan kamu.
Diakan sahabat kita, jelas dia tidak pernah dendam denganmu. Biar dia tenang
disana.” Ucap kawanku sambil mengelus pundakku.
“tapi ris, aku benar-benar menyesal ris. Aku yang
pagi itu tidak mau mendengarkan alasan dia telat. Aku egois, aku emosional. Aku
menyesal.” Ucapku lirih.
“udahlah, jadikan ini pelajaran berharga dalam
hidupmu. Makanya untuk nanti ke depan bisa dijadikan pedoman untuk mengubah
sikapmu. Aku yakin bahwa semua sudah menjadi garis takdir untuk setiap orang.”
Aku tidak menyesal dengan kepergian sahabatku itu,
kadang yang membuatku sedikit merasa sedih adalah tentang alasan ia pagi itu.
Aku ingin tahu apa alasan dia terlambat pagi itu. Dan sangat ingin kuminta maaf
sebesar-besarnya terhadap dia karena aku tahu selama ini aku belum menjadi sahabat yang baik
baginya. Dia adalah sahabat yang paling baik yang pernah aku miliki dan belum
ada gantinya untuk saat ini. mungkin saja orang lain sering mengatakan bahwa
Alif adalah orang bodoh karena berteman dengan orang yang emosional sepertiku, tapi dia tetap bersahabat denganku baik itu
dalam keadaan susah maupun senang. Itulah hal yang membuat aku tidak pernah
melupakannya.
Terkadang juga aku sendiri merenung, didalam keadaan
yg tidak sedih terdapat pula kesedihan yang mendalam yg ku rasakan. Kesedihan
itu kadang bercampur kebahagiaan pula dimana aku selalu memikirkan bahwa tuhan
sudah mengirimkan seorang sahabat untukku selama ini. Ia telah mengorbankan
nyawanya demi orang yang ia anggap sebagai sahabat tetapi belum memberikan
kontribusi yang baik baginya. Seorang sahabat baginya yg mungkin sering membuat
dia terluka perasaan dengan ocehanku yg berlebihan.
Satu hal pula yg aku salut dan harus ku akui dari
dia. Setiap kali aku marah dengan sesuatu baik itu OSIS atau apa, selalu amarah
itu ku limpahkan kepada dia. Akan tetapi responnya yg ia berikan itu sangat
berbalik dengan apa yg aku lakukan terhadapnya. Ia tidak pernah marah bahkan
selalu mengerti bahwa aku sedang punya banyak masalah. Aku merasa berjasa dan
merasa bersalah dengannya, andai saja waktu bisa diputar, aku ingin memperbaiki
itu semua karena sangat banyak yg ingin ku perbaiki untuk kebaikannya. Tapi
itulah garisan takdir yang mungkin setiap orang akan berbeda tanggapan. Aku
yakin semua itu sudah kehendak-Nya dan aku selaku hamba tidak punya kuasa untuk
melawan.
Aku selalu tersenyum sambil mecurahkan sedikit kebahagiaanku
lewat setitik air mata dimana aku yakin dengan pernyataan yg selama ini ku
pegang “Tuhan tidak pernah mengambil sahabatku, Tuhan hanya mengambil jiwanya
akan tetapi suatu saat aku yakin bahwa Tuhan akan mengirimkan yg lebih darinya
untuk menjadi perbaikan dalam diriku selama ini karena sifatku yang belum baik.”
Dan pernyataan itu sudah terbukti, bahwa sekarang sahabatku sudah hadir dalam
jiwa yg lain. Meski jiwa yang berbeda, aku yakin dialah sahabatku yg tuhan
kirimkan untuk kesempatanku memperbaiki semua yang telah aku lakukan terhadap
temanku itu. Dimana setiap kali aku melihat Ardhi, aku selalu melihat sosok
Alif yang ada padanya. Setiap kali melihat dia, aku selalu merasa kejadian 6
tahun yang lalu itu terulang lagi dan rasanya aku punya kesempatan untuk
meminta maaf kepadanya atas keegoisanku pada pagi itu yang tidak mau mendengar
alasannya. Terimakasih Alif, kamu akan selalu menjadi teman dalam hidup saya
dan insyaallah akan berjumpa di akhirat nanti. Aminnn
Selamat jalan
sahabatku, aku selalu mendoakanmu dan terima kasih atas sinar dan kesabaranmu
menghadapi sahabat seegois aku. Aku yakin kamu sudah tenang disisi-Nya.
*nama tokoh dalam cerita
adalah nama pengganti
Minggu, 31 Juli 2016
Cerpen Remaja 1 (Harapanku Selalu Bersamamu)
Harapanku selalu bersamamu
Hujan yang turun deras, sederas hatiku
yang pilu. Aku melihat keluar jendela yang terdapat dan tampak jelas hamparan
Padang Rumput yang luas. Hatiku terasa tak tenang, karena hati siapa yang bisa
tenang jika sahabat terbaiknya yang selama ini mendukung segala aktivitasnya
sekarang sedang terbaring di Rumah sakit. Sahabatku sudah 3 hari dirawat di
rumah sakit, aku masih mengingat 3 hari sebelumnya, kami pernah bertemu dan aku
sengaja menemuinya karena aku ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting
untuknya. Karena aku akan pergi esok hari untuk mengikuti lomba pidato bahasa
inggris yang diadakan tingkat Provinsi.
Pada hari itu, aku bertemu dengannya di
sebuah taman kota. Sesampainya disana, kami bertemu dan sebelum aku
menyampaikan maksudku menemuinya, kami sempat bermain kejar-kejaran, dan tertawa
bersama. Kami bercanda layaknya sepasang sahabat yang sudah lama terpisah dan
kini telah bertemu kembali. Tak lama kemudian, aku mulai menyampaikan maksudku
menemuinya dan aku yang memulai perkataan
“Syifa, aku mau bilang bahwa aku harus pergi besok untuk mengikuti lomba
Debat English di tingkat Provinsi,”. Kataku dengan menahan sedikit nada. Lalu
dia membalas,
“Hafiz, walaupun kamu akan pergi, yang paling aku harapkan dari kamu
adalah jangan sekali kali kamu lupa terhadap kewajibabmu terhadap sang maha
Pencipta. Aku janji, kita akan selalu bersama, aku yakin kok kamu akan
membanggakanku dengan membawa pulang kemenangan untukku. Dan aku harap kamu
akan selalu menjaga hubungan persahabatan kita selalu”. Katanya dengan suara
terbata-bata. Lalu aku membalas perkataannya.
“Syifa, aku janji aku akan membawakan kemenangan dan kebanggan untuk
Syifa, asalkan Syifa juga harus janji akan baik baik saja disini ya dan aku
juga akan selalu menjaga hubungan persahabatan kita walaupun berbagai rintangan
datang, namun kita selalu bersama”. Ucapku dengan suara yang tertahan dan air
mata yang berlinang. Aku tak sanggup untuk meninggalkan dia. Apalagi sekarang
dia dalam keadaan sakit-sakitan. Tapi apa boleh buat, aku terpaksa meninggalkannya
demi menempuh impianku. Dia memandangku dengan wajah yang dihiasi air mata yang
mulai meleleh. Akhirnya aku berkata lagi
“Syifa, kamu tidak usah khawatir, aku pergi untuk sementara dan aku akan
membawa kemenangan untukmu”. Dan Syifa menjawab. “Aku akan mendoakanmu, semoga
Hafiz akan selalu di bawah lindungan Allah Swt. Dan aku mau ucapkan selamat
jalan sahabatku. Aku selalu menantimu disini dengan jutaan harapan”. Tak lama
setelah itu, kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya aku dirumah,
tiba-tiba Handphoneku berbunyi. Panggilannya ternyata dari temanku. Lalu aku
mengangkat Hpku. Lalu aku mendengar suara yang tak biasanya, terdengar suara
yang sangat ribut
dan kacau. Aku mulai berbicara dan dengan penasaran aku bertanya
“Hallo di, ada apa ?”. aku sejenak tertegun. Lalu dia menjawab “Hallo
Fiz, kamu lagi dimana sekarang ? oa Syifa masuk rumah sakit”. Katanya
Dengan rasa yang tertegun dan menahan air
mata yang hampir jatuh, hatiku begitu khawatir dan gelisah memikirkan keadaan
Syifa. Aku takut akan terjadi sesuatu dengan sahabatku itu. Lalu aku menjawab
“Di, kamu serius ? lalu dimana sekarang Syifa ? dan bagaimana keadaannya ?”.
aku mulai gelisah. Lalu dengan singkat temanku menjawab “Dia udah di ICU,
sekarang dia tidak sadarkan diri, mending kamu cepetan kesini”. Ucapnya dan
tanpa aku sadari, dia menutup telponnya. Dengan hati yang bercampur aduk, aku
segera berpamitan kepada orangtuaku. Aku langsung bergegas kerumah Sakit.
Sesampainya di rumah
sakit, aku melihat Syifa terbaring lemh di ruang ICU. Dia ditemani mamanya.
Matanya juga belum terbuka, itu artinya dia masih tak sadarkan diri. Hatiku
bergetar dan menahan air mata yang mulai keluar membasahi pipi. Aku langsung
masuk dan mendekati Syifa. Dan ketika melihat aku datang, mamanya langsung
mempersilakan aku masuk untuk menjenguknya. Aku mulai berbicara “Syifa, bangun,
kenapa kamu sampai begini ? katanya Syifa ingin melihat aku sukses, katanya
Syifa ingin melihat aku berjuang untuk mendapat juara ? tapi kenapa Syifa
begini ? Ya Allah, Tolonglah sahabat hambamu ini, hamba tidak bisa hidup jika
harus kehilangan dia, hamba tidak bisa melihat dia susah Ya Allah, tolong
sembuhkanlah dia. Jika mungkin, hamba rela engkau tukarkan nyawa hamba demi
kesembuhan dia ya Allah asalkan Syifa sembuh”. Ucapku dengan isak tangis yang
sangat pilu. Aku terus memandang dia dan memegang erat tangannya.
Tak lama kemudian,
akhirnya Syifa sadarkan diri, aku melihatnya. Dan dengan keadaan yang sangat
lemah, ia menoleh kepadaku dan berkata
“Hafiz, aku takut, aku takut kalau aku tidak bisa melihatmu lagi. Aku
takut aku akan pergi dan meninggalkanmu sendiri”. Wajahnya terlihat lemah, lalu
dia mendekap tanganku. Aku berkata kepadanya “Syifa, apapun yang terjadi, kita
akan selalu bersama dan tidak akan terpisahkan, kecuali Allah berkehendak, jadi
syifa harus bertahan demi hafiz ya? Syifa harus kuat, Syifa harus sembuh demi
Hafiz ya !”. aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa menahan
tangisan yang tersimpan dalam hatiku dan air mata yang mulai berjatuhan.
Setelah beberapa jam, aku
ditelpon oleh orang tuaku. Mama dan papaku bilang bahwa aku harus segera
berangkat untuk mengikuti lomba karena mobil yang menjemputku sudah datang
kerumahku. Dengan rasa yang sangat perih bercampur sedih, dan dengan langkah
yang berat harus ku tempuh. Lalu dengan kata kata terakhir aku kembali
mengucapkan kata ku kepada sahabatku yang sudah sadar dan sedang berbaring di
ruang ICU.
“Syifa, aku harus pergi ya sayang, aku harus pergi untuk mewujudkan
impian kita,impian Syifa yang ingin melihat aku membawa piala besar untuk
Syifa, tapi, aku tidak bisa meninggalkan Syifa dalam keadaan seperti ini”.
Ucapku dengan kata terhenti-henti. Lalu Syifa menjawab “Hafiz, perlombaan itu
lebih penting dari sakitku, kamu harus pergi ke sana, kamu harus membawa
kemenangan untukku, aku mohon jangan khawatirkan aku, aku pasti akan baik-baik
saja”. Ucapnya dengan kata yang lembut. Akupun berkata lagi “kalau itu yang
Syifa inginkan, aku akan pergi dan aku berjanji akan membawakan harapan yang
besar dan indah untuk Syifa , tapi Syifa juga harus janji bahwa Syifa akan
sembuh dan aku ingin melihat Syifa yang seperti dulu, aku ingin melihat Syifa
yang selalu tersenyum dan bahagia”. Ucapku dengan air mata berlinang. Aku
sungguh berat meninggalkan dia. Apalagi aku menyimpan perasaan yang lebih
kepada Syifa, yaitu selain sebagai sahabat, aku juga mempunyai rasa Cinta yang
dalam untuk Syifa.
Setelah meminta izin
kepadanya, aku langsung pulang kerumah untuk bersiap-siap. Dan setelah beberapa
jam, aku berangkat dengan mobil jemputan dan dengan hati yang sangat tercampur
aduk, aku harus meninggalkan rumahku. Setelah melalui perjalanan panjang,
akhirnya aku sampai di tempat penginapan. Aku menginap dan istirahat di salah
satu penginapan di dekat kota perlombaan Spech English. Aku disuruh istirahat
oleh guruku kerana perlombaannya akan diadakan besok pagi. Sambil melepas
lelah, ku mencoba menghubungi kerumahku. Anehnya, hp orangtuaku tak aktif. Aku
mulai khawatir. Aku mencoba beberapa kali. Aku mencoba menelpon Syifa,
namun tak ada jawaban. Akhirnya aku
hanya terdiam dan memikirkan keadaan Syifa dirumah sakit. Aku teringat akan
kata-kata yang ia ucapkan padaku sebelum aku berangkat. Malam itu aku hanya
memikirkan Syifa, akhirnya malam itu aku lalui dengan tanpa menutup mata.
Keesokan harinya, lomba
diadakan. Aku sangat bertekad ingin meraih piala yang ada didepanku tersebut.
Aku ingin membawakannya dan memperlihatkannya kepada sahabatku disana, pasti
dia akan sangat senang.
Semua peserta telah tampil.
Kini tinggallah aku dan seorang peserta lagi yang belum tampil. Aku berusaha
agar bisa tampil semaksimal mungkin. Setelah selang beberapa waktu kemudian,
aku pun tampil dengan performance yang sangat memuaskan bagiku. Aku sangat
yakin dalam hati bahwa aku akan menjadi pemenang dan aku sangat mengharapkan
itu.
Setelah berselang
beberapa jam, pengumuman pun mulai di umumkan. Hatiku begitu cemas, aku gundah
kalau aku tidak menang, maka aku akan sangat mengecewakan Syifa yang sangat
berharap agar aku menang. Pasti Syifa akan kecewa padaku. Aku terkejut dengan
suara mikrofon yang memulai bersuara dengan perkataan
“The Winner of Spech English 2013 is ......”
Aku menjadi sangat penasaran. Lalu si Mc memulai menyambung kata lagi.
“Congrulations To Hafiz that has be a winner of Spech Englis 2013 that
has cacth a best”. Katanya dengan sangat gembira dan riang.
Aku sangatlah terkejut, aku merasa sangat senang sekaligus menangis
karena bahagia. Akhirnya, tanpa aku duga, tanpa aku sangka,aku bisa mendapat
no. 1 di tingkat provinsi. Betapa bahagianya hatiku. Aku langsung naik keatas
pentas yang sangat spektakuler. Aku menerima sebuah piala yang panjang nya
sekitar 70 cm. Aku sangat bangga. Setelah turun dari pentas, aku langsung sibuk
mencari guruku dan kembali ke penginapan dengan tujuan untuk cepat-cepat pulang
ke rumah dan aku ingin memberi kejutan kepada Syifa. Hatiku begitu riang. Tanpa
mempedulikan orang lain, aku sibuk sendiri. Aku pulang ke penginapan. Aku
menyiapkan baju-bajuku dan pada saat itu Hpku berbunyi. Lalu aku angkat hpku.
Dengan hati yang sangat riang, aku mulai bicara. Betapa terkejutnya ternyata
telponnya dari Syifa.
“Hallo Assalammualaikum Syifa ? aku punya kabar gembira untuk Syifa,
Syifa pasti senang mendengarnya.” Ucapku dengan hati gembira. Lalu aku heran
ketika orang yang membalas perkataanku bukanlah Syifa melainkan mamanya. Dia
berkata “Hafid, ini tante nak, tante punya kabar yang sangat buruk nak ! tante
harap, kamu bisa menerima dan tabahkan semua ini ya nak !.” ucapnya. Lalu aku
membalasnya “berita apa tante ? oa tante Syifanya mana ? dia sudah sembuhkan
?”. tapi yang aku dengar hanyalah tangisan. Aku semakin khawatir dan heran.
Lalu mamanya berkata lagi
“Nak, Syifa sudah pergi meninggalkan kita, dia sudah tiada.” Ucapnya
singkat. Aku berkata lagi dengan menahan air mata
“ah tante jangan bercanda, ini tidak lucu, tante tolong kasih hp
sebentar sama Syifa hafiz ingin bicara dengannya.” Lalu mamanya membalasnya
“benar nak, tante tidak bohong, Syifa sudah pergi meninggalkan kita.”
Ucapnya dengan disertai tangisan.
Dengan rasa haru, tanpa
sengaja hpku jatuh ke lantai. Aku menangis dengan sangat perih dengan rasa yang
tertegun aku merintih. Aku berteriak dengan tangisan “Syifaaaaa, kenapa kamu
pergi begitu cepat ? kenapa kamu tidak menunggu hafiz pulang ? aku sudah
berusaha membawa semua keinginan Syifa, tapi kenapa ? kenapa Kamu tinggalkan
aku senidiri ? aku tidak bisa bertahan tanpa kamu Syifa. Ya Allah, Kenapa
engkau ambil orang yang sangat Hamba sayang ? kenapa engkau panggil satu
satunya emas permata sahabat hambamu ini ya Allah ?”. aku merintih dengan
perasaan yang sangat pilu.
Tak lama kemudian, aku pun bersiap siap untuk segera pulang. Mobil yang
mengantarku sudah datang dan menunggu di parkir. Aku langsun berlari keluar
penginapan dengan membawakan piala besar di pangkuanku. Dan aku masuk ke mobil.
Dalam perjalanan pulang, hatiku berkata
“Ya Allah, kemana akan hamba bawa hati ini ? kemana akan hamba bawa hati
yang sangat hancur ini? Siapa yang akan membuat aku tersenyum ? untuk apa piala
ini ? untuk apa kemenangan ini ? kalau sahabat hamba telah engkau ambil. Ya
Allah, hamba tidak sanggup hidup tanpa dia, hamba sangat merindukan dia, disaat
hamba susah, disaat hamba sedih, siapa yang akan membuat hamba semangat lagi
?”. air mataku mulai membasahi pipiku. Rasanya, aku tidak bisa berkata apa apa
lagi. Air mataku yang sudah berguyuran membawaku sampai dan tanpa terasa aku
sudah sampai ke rumah. Aku tidak langsung pulang ke rumah, Tapi aku menyuruh
sopir itu untuk mengantarku ke makam Syifa.
Sesampainya disana, aku
melihat sebuah makam yang baru saja dibuat. Tanahnya masih baru yang dihiasi
bertaburan banyak bunga melati. Dan disana hanyalah yang terlihat Cuma batu
nisan yang bertulisan nama SYIFA. Aku mulai melangkahkan kakiku mendekati makam
Syifa. Aku menangis sambil berkata
“Syifa Sayang, aku sudah kembali. Aku sudah membawa kemenangan yang
Syifa minta. Aku sudah kembali untuk persahabatan kita. Aku akan
membahagiakanmu Syifa. Syifa, bangunlah, katanya kamu tidak akan pergi sebelum
aku kembali. Katanya kamu ingin melihat aku membawakan piala besar untukmu. Ini
aku telah kembali. Bangunlah Syifa, Syifa aku mencintai kamu. Aku tidak bisa
hidup tanpa kamu sayang. Syifa aku mohon, jangan tinggalkan aku. Syifaaaaaa...
ya Allah, buat apa semua ini ? buat apa aku hidup kalau tanpa dia ?”. akupun
bersimpuh dimakamnya. Aku tak habis-habisnya membayangkan masa masa indah
bersamanya. Dia begitu manis, baik, ramah, lucu, tapi sekarang yang tinggal
hanyalah kenangan belaka.
Setelah beberapa jam
kemudian, hpku berbunyi. Ternyata mamaku yang menelpon. Aku mengangkatnya.
“Ya ma, assalammualaikum.aku sudah pulang, aku akan segera sampai”. Aku
memulai berbicara. Lalu mamaku berkata “Alhamduliillah kamu selamat nak,
yaudah, mama tunggu ya.” Kata mamaku.
Tak berapa lama,
aku pulang dan sampai dirumah. Mamaku dan papaku langsung menyambutku dengan
gembira. Mamaku berkata “Alhamdulillah ya Allah, anakku berhasil. Mama bangga
sama hafiz.” Mamaku memelukku. Lalu mamaku menanyakan sesuatu sama aku
“Loh, kenapa kamu nak ? kok pucat sekali ?”. aku menjawab. “Ma, hafiz
butuh istirahat, mungkin karena kecapean”. Kataku sedikit menyembunyikan
tentang apa yang terjadi padaku. Lalu mamaku menyuruhku masuk kamar dan
istirahat. Dan tidak lupa pula mamaku memberi sepucuk surat untukku. Katanya
dari temanku.
Aku masuk kekamar. Aku
langsung mandi dan menghiraukan surat yang diberi mama tadi. Dan setelah mandi,
aku mulai membaca surat tadi. Betapa tergetar hatiku ternyata surat itu dari
Syifa, air mataku mulai keluar berderai. Dalam surat itu, Syifa berkata
“Hafiz, mungkin saat kamu
melihat surat ini, kamu pasti akan terkejut dan merasa kecewa denganku. Aku
sengaja menulis usrat ini khusus buat kamu agar kamu bisa belajar melupakan aku
dan menerima kenyataan ini bahwa aku sudah pergi dari hidupmu. Aku pergi karena
mungkin, sudah cukup disinilah janjiku untuk hidup didunia ini, aku tahu, bahwa
kamu telah membawa piala besar untukku. Aku bangga denganmu hafiz, aku sangat
menyayangi kamu. Aku mohon sama kamu hafiz, jangan pernah laupakan tentang
hubungan persahabatan kita. Walaupun aku sudah tidak bisa menyemangati hidupmu,
tapi yakilah bahwa aku selalu mendoakanmu. Jalanilah hidupmu dengan keceriaan
dan ketakwaan kepada Allah. Karna jika kamu bahagia, aku akan turut bahagia. Karena
aku tahu bahwa selama ini kamu juga mencintaiku. Begitu pula dengan ku. Aku
sangat mencintaimu lebih dari seorang sahabat. Tapi cintaku padamu tidak akan
berjumpa di dunia. Aku harus terlebi dahulu di panggil Allah. Aku senang bisa
menghabiskan waktu bersamamu. Aku selalu mengingatmu, harapanmu akan selalu
kunantikan walaupun aku sudah sangat jauh terpisah darimu. Aku selalu
menyayangimu sahabatku. Jangan pernah kau deraikan air mata. Karena aku tidak
ingin melihatmu sedih. Aku selalu menantimu di pintu Langit ini.”
Tamat
Langganan:
Postingan (Atom)