Minggu, 04 September 2016

Sesal



Namaku Edi. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adik-adikku perempuan. Saat ini aku berkuliah di salah satu Universitas terbaik di Aceh. Ini adalah kisahku dimana hal yang tidak bisa ku lupakan dalam hidupku. Sebenarnya sudah ku kubur dalam-dalam kisah ini. akan tetapi, kisah ini muncul lagi saat aku mengenal seorang mahasiswa seangkatanku bernama Ardhi. Terasa kejadian 6 tahun yang lalu itu terulang lagi pada detik ini saat aku melihat Ardhi. Wajah, suara, perilaku, dan tingkahnya 100% sama dengan teman karibku, Alif. Hanya satu hal yang tidak terlalu mirip adalah saat diajak bicara. Hanya sedikit saja perbedaan, sedangkan yang lain persis sama. Setiap kulihat temanku yang baru saja kukenal di organisasi BEM itu, selalu aku ingin rasanya meminta maaf padanya dan tidak akan kuulangi apa yg telah terjadi padaku 6 tahun yang lalu. Setiap kali kulihat ia, rasa penyesalan itu datang lagi setelah mati selama 6 tahun yang lalu. Rasanya Alif berada dalam jiwa temanku yang satu ini dan aku rasa, tuhan sengaja mengirimkan dia agar aku bisa memperbaiki kesalahan dan sikapku yg emosional terhadapnya. 

Masih kuingat pagi itu 10 Mei 2010 dimana kejadian itu menjadi hal terpahit dalam hidup ini. Dimana tepat 6 tahun yang silam saat aku masih duduk di kelas 2 SMP dan aku punya seorang teman yang sudah lama kukenal. Alif namanya. Ia adalah satu-satunya sahabatku yang paling baik dan sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Orangnya yang sabar, rajin dalam segala hal terutama beribadah, berbakti kepada orang tua, dan perilaku yang sopan dan tidak sombong menjadikan dia lebih unggul daripada aku. Memang aku belajar banya hal darinya karena aku merasa bahwa masih kurang pengetahuan dalam hal agama. Seringkali aku dinasehati olehnya dikala mungkin aku menjadi manusia yang lupa akan sesuatu yang baik. Setiap aku mendapat kebahagiaan, ia tak pernah merasa iri atau apa. Akan tetapi sebaliknya yg ia rasakan adalah kebahagiaan yang aku rasakan. Ia seakan selalu ada disaat aku berada dalam situasi dan kondisi apapun. Pokoknya ia adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Ia berasal dari keluarga sederhana pula sama sepertiku dan tidak suka berfoya-foya. Hingga detik ini, ia belum bisa digantikan oleh siapapun sebagai sahabatku. 

Masih ku ingat pagi itu pagi Senin, aku sudah tiba lebih awal di sekolahku. Walaupun masih jam 6;30, aku sudah berada di SMP karena harus mengurus peserta upacara bendera paginya sebagai tanggung jawabku selaku ketua OSIS di SMP tempat aku bersekolah. Sedangkan temanku, Alif datang setelah 30 menit kemudian tepatnya jam 07:00 wib. Aku sedikit merasa kesal dengannya karena Alif sebagai ketua bidang berbakti kepada Negara, pagi ini harus bertugas menyiapkan peserta pelaksana upacara bendera. Tanpa ku pikirkan kehadiran si Alif lagi, Aku dan teman-teman osis lainnya menyiapkan persiapan upacara. Setelah aku dan teman-teman lainnya menyiapkan perlengkapan dan keperluan pelaksanaan upacara, barulah Alif datang dengan raut wajah seolah memilas kasihan. Aku tidak mempedulikannya karena perasaan  marah dengannya akibat ia datang ke sekolah yang tidak konsisten pagi itu masih belum hilang.

 Setelah upacara bendera selesai dan setelah kubereskan semua perkakas upacara. Sedang aku membereskan peralatan selesai upacara, Alif datang dan meminta maaf kepadaku.

“Di, aku benar-benar minta maaf ya. Karena datang terlambat. Tadi….”
“jadi orang konsisten sedikit bisa? saya sudah susun semua dari kemarin. Dan anda sudah menyepakati untuk memenuhi semua itu, kenapa pada hari hal anda tidak menepati sesuai kesepatakan?” Gaya bicara ku yang formal seakan ingin ku abaikan temanku itu.

“tapi… aku punya alasan kuat di…. Maaf banget.” Dia memohon.
“sudah, kalau anda tidak bisa konsisten, anda bisa undurkan diri dari jabatan ini.”  Ucapku sambil bergegas masuk ke kelas. Aku tidak mempedulikan alasan apa yang si Alif akan katakan untuk membantu ia keluar dari masalah ketidak tepatan-waktunya.

 Pagi itu aku belajar dengan suasana yang agak berbeda. Kurasakan tidak enak karena aku sudah terlalu bersikap egois dan emosionalku tidak terkontrol terhadap temanku itu. Padahal kejadian tadi pagi itu tidak harus terlalu dipermasalahkan. Tapi di lain sisi aku sempat berpikir kalau ini terus dibiarkan, maka orang lain pasti akan mengejekku dan berkata bahwa aku tidak bisa bersikap konsisten terhadap bawahan dan aku bersikap tidak adil jika tidak menegur temanku sendiri. Jelas ini bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pikiranku semakin kacau. Tak lama kemudian, aku bergegas keluar kelas karena jam istirahat sudah berbunyi. Seperti biasa aku menghabiskan waktu istirahat di kantin untuk bertemu dg teman-teman dari berbagai kelas. Jujur saja, aku lebih banyak bergaul dengan siswa yg berbeda kelas dibandingkan dengan siswa yang ada dalam kelasku sendiri. Rasanya memiliki banyak teman di luar kelas itu adalah hal yg luar biasa karena selain memiliki banyak pergaulan, aku juga bisa berbagi banyak pengalaman saat berada di kelas yang berbeda. Tak terkecuali dengan temanku yang baru saja ku tegur keras itu. Alif adalah siswa kelas 2E yang jauh dari kelasku yaitu kelas 2B. walaupun demikian, aku dan Alif sudah berteman sejak kami kelas 1 SD. Masih ku ingat saat itu aku pertama kalinya mengenal ia yaitu saat aku diantar ayahku ke sekolah untuk pertama kalian. Aku yg masih pemalu dan pendiam saat itu seakan tidak punya teman. Hanya Aliflah yang selalu berteman denganku hingga saat ini aku yang sudah duduk di kelas 2 SMP. Pertemanan yang begitu lama itu tak jauh dari tantangan. Sikapku yang selalu ingin menang sendiri dan egois mungkin saja membuat setiap orang kesal. Akan tetapi tidak dengan temanku yang satu itu, ia tetap mengalah walau aku mengata-ngatai dia saat aku punya masalah dengan akademikku ataupun dengan organisasiku. Aku seringkali melimpahkan amarahku padanya dikala aku tidak bisa menghandle masalah organisasiku. Aku bahkan seakan menjadi macan baginya.

Saat hari menjelang siang, tepatnya jam 13:20 Wib. Itu artinya 10 menit lagi jam sekolah akan segera berakhir. Aku sedikit merasa kelaparan saat itu karena makanan yg ku makan di kantin tadi tidak begitu mengisi perutku karena keasyikan ngobrol bareng teman-temanku. Akhirnya 10 menit itu tidak terasa karena sekarang bel tanda pulang sudah berbunyi. Segera ku bereskan buku-buku yang ada di meja dan ku langkahkan kaki ke depan dan akhirnya aku sudah sampai di depan gerbang berukuran 3 meter menjulang keatas dan berlambangkan tut wuri handayani itu. 

Biasanya di hari-hari lain, aku selalu menunggu temanku untuk pulang bareng. Namun tidak dengan hari ini. Aku memutuskan untuk bergegas pulang sendiri karena aku ingin memberi pelajaran keras terhadap temanku itu atas keasalahannya agar ia tidak mengulanginya lagi. Sikapku yang masih labil seakan tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Harus kuakui bahwa aku hanya bisa memberlakukan pernyataan konsisten terhadap orang lain, akan tetapi hal itu seakan tidak berlaku padaku. 

Setelah beberapa langkah aku berjalan kaki, ku dengar suara yang memanggilku dari arah belakang. Aku tahu siapa yang memanggilku. Siapa lagi kalau bukan si temanku itu. Ia rupanya masih ingin menjelaskan alasan ia terlambat tadi pagi. Akhirnya aku berjalan cuek dan tidak menghiraukan panggilannya.

“Di, tungguin aku. Aku minta maaf dah gara-gara tadi pagi itu. Ya memang itu kesalahanku dan aku tidak akan mengulanginya.” Ucapnya berjanji sambil mengejar langkahku dari belakang.
“Anda itu kalau nggak bisa konsisten dengan waktu ya, sebaiknya lepas saja jabatan sebagai kabid. Banyak kok yg masih mau dan mampu untuk digantikan di bidang anda.” Ucapku.

“Tadi itu…” Ucapannya terputus karena aku memotongnya.
“Sudahlah, itu alasan klasik anda bukan? Kalau alasan karena terlambat bangun, itu semua orang bisa. Mendingan sekarang anda pulang dan buktikan pada ketua anda ini kalau anda bisa menjadi orang yang konsisten dalam berorganisasi.” Ucapku dengan emosi.

yaudah deh, tapi dengarkan alasanku dulu Di. Ini benar-benar beda dari yang alasan biasanya.” Ucapnya masih ingin menjelaskan. 

“Nanti kalau saya sudah punya waktu, saya akan dengarkan alasan anda. Sekarang sebaiknya diam dan pulang saja dulu.” Ucapku menutup pembicaraan dan raut wajah serius.

Aku dan Alif berjalan bersama akan tetapi suasana pulang kali ini hanya diam saja. Dia yang sudah tahu akan sifat asliku seakan tak mau memperpanjang masalah. Ia paling tahu sikapku bahwa kemarahanku hanya bertahan paling lama sekitar 10 jam atau 1 hari saja. Setelah itu aku akan kembali normal. Wajar saja jika ia tidak memperdebatkan itu lagi. Lagipula Ia selalu menurut apa kataku. Mungkin karena hatinya yang begitu sabarlah yang membuat ia selalu menjadi anak yang disayangi di sekolah. Andai saja aku menjadi dia dan berada di posisi dia yang mempunyai seorang sahabat egois, jengkel dan seemosional aku, mungkin saja sudah ku tendang ke lautan lepas. 

Kira-kira 400 meter dari jarak sekolah, aku berencana untuk membeli keperluan sekolahku di salah satu kedai photocopy yang berada tak jauh di seberang jalan raya. 

“Saya mau beli perlengkapan tugas dan kertas karton dulu. Anda silahkan berjalan duluan.” Ucapku masih serius.

“Iya Di, aku tunggu disini saja. Jangan lama ya,soalnya aku ada les juga sore ini.” Ucapnya.

Aku langsung bergegas ke seberang jalan dan  beberapa menit kemudian aku kembali ke tempat temanku menunggu. Kuseberangi jalan diantara sela-sela kendaraan yang  tidak terlalu banyak dengan beberapa alat tulis di tangan untuk tugas sekolahku  itu. Tiba-tiba saja dari kejauhan ada sebuah kendaraan motor yang dikendarai oleh seorang pria berjaket hitam seperti orang mabuk dengan tanpa rem langsung melaju kencang ke arahku. Motor tersebut seakan tak melihat bahwa ada orang didepannya. Aku hanya tertegun melihat motor yg melaju kencang itu ke arahku dan seakan tak bisa ku gerakkan kaki. Dari kejauhan Alif berteriak sambil berlari ke arahku, lalu dengan cepat ia mendorongku ke seberang jalannya.

“Di awass!!” itulah kata terakhir yg ku dengar saat dia mendorongku hingga aku jatuh terbentur pinggiran jalan itu dan tak sadarkan diri. Aku juga sempat terserempet sepeda motor lain di bagian rusukku hingga kulitku tersobek dan mengeluarkan darah. Keadaanku sudah tak bisa ku ceritakan lagi. Dunia seakan gelap dan tak tahu lagi bagaimana keadaannya. Kakiku terbentur beton pinggiran jalan dan aku terjatuh hingga kepalaku ikut terbentur aspal jalan. Kakiku dan seluruh badanku mengeluarkan banyak darah akibat terbentur beton dan juga terkena pingiran pagaran seng karena dorongan dari temanku yang begitu kuat.  Orang-orang dengan segera berkerumunan mendekatiku. Ada yang berteriak dan juga menangis histeris melihat keadaanku. 

Dengan segera aku dilarikan ke rumah sakit. Kaki kiriku mengeluarkan banyak darah dan mengalami  patah tulang terbuka. Tidak tahu bagaimana ceritanya aku bisa sampai ke rumah sakit. Akhirnya setelah 1 jam aku tak sadarkan diri, jam 4 sore aku kembali siuman. Kurasakan keadaan yg tidak biasanya. Terpasang di tangan kanan dan kiriku impuls yg dilengkapi dengan berbagai peralatan yg mengerikan yg ada di rumah sakit yg sering ku lihat saat aku berkunjung. Nafasku seakan tak bisa ku hembuskan. Banyak orang dan keluargaku yg berdiri di dekat ranjang tempat aku terbaring. Aku hanya bisa mengedipkan mata dan tak bisa mengeluarkan suara. Ibuku dan ayahku seakan tak mau mengeluarkan kesedihannya didepanku. Hal ini tampak matanya yg berkaca-kaca. Mereka seakan menahan tangisan yg dipendam karena sayangnya terhadap anaknya dalam keadaan terbaring saja di rumah sakit. 

Keadaanku saat itu benar-benar sangat tragis. Kaki kiriku yang dibidai dan seluruh wajahku yg lecet terkena aspal dan lembam.  Aku seakan menjadi manusia yang tak berdaya. Sempat kubayangkan bahwa aku sudah tidak memiliki kesempatan untuk hidup lagi. Sesaat kemudian aku menyadari bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan, dan hal pertama yg kutanyakan pada orangtuaku adalah dimana temanku itu. Mengapa ia tidak tampak semenjak aku sadar dari tadi. Mereka mengatakan bahwa temanku itu baru saja pulang setelah membawakan aku ke rumah sakit karena keadaannya yg sedikit demam.

“Tadi si Alif memang disini tunggu kamu sadar, sekarang dia sudah balik dulu ke rumah karena nggak enak badan. Lagipula dia belum ganti baju sekolah yang kena darah kamu. Nanti dia juga balik lagi.” Ucap ibuku.

Sementara itu aku hanya mengangguk kecil dan percaya apa yang dikatakan oleh ibuku. Aku sempat merasakan pegal di kakiku karena kehilangan banyak darah. Hal ini membuatku tidak bisa bergerak sama sekali dan hanya terbaring seperti mumi yang ada di film-film.

Dua bulan telah berlalu. Keadaanku yg menjalani terapi obat tradisional di rumah akhirnya membaik. Sudah hamper dua bulan aku dibawa pulang ke rumah karena beberapa minggu dirawat di rumah sakit. Namun, Alif tak seharipun tampak menjengukku. Hal yang membuat aku bingung dan penasaran. Saat kutanyakan kemana temanku itu, kenapa ia tidak pernah tampak semenjak aku dirawat di rumah sakit hingga aku dibawa pulang ke rumah. Setiap kutanyakan kepada orangtuaku, mereka hanya menjawab bahwa sahabatku itu sibuk dan belum sempat menjengukku. Lagi-lagi kutanyakan dengan pertanyaan yang sama. Namun, jawabannya hanya dengan alasa bahwa temanku datang disaat aku terlelap. Jadi, ia tidak berani menggangguku tidur. Aku sempat curiga dengan sikap dan pernyataan keluargaku. Aku juga sempat beranggapan apakah temanku itu masih marah denganku atau ada alasan lain sehingga dia tidak pernah tampak semenjak aku dirawat di rumah sakit hingga aku kembali ke rumah. Hingga pada suatu hari aku kembali mencoba mencari tahu kepada teman-temanku tentang Alif temanku. Ku kirim SMS ke salah satu kawanku dengan trikku agar aku tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan temanku itu. Akan tetapi teman-temanku tak ada satupun yang tahu. Jawaban mereka sama seperti apa yang ayah dan ibuku jawab. Mereka berkata bahwa Alif pergi  sekolah setiap hari. Hanya saja mereka tidak tahu kenapa Alif tidak pernah datang menjengukku. Padahal seluruh teman-temanku dan guruku sudah datang menjenguk keadaanku. Bahkan orangtua Alif juga sempat datang beberapa hari yang lalu. Aku tidak percaya bahwa sikap temanku itu yang selama ini sabar tetapi berubah dalam sekejap menjadi orang pendendam. Aku tahu betul sifat dia seperti apa. Tidak mungkin hanya karena masalah pagi itu ia menjadi marah padaku.

Ternyata tak selamanya mangga bisa disembunyikan. Sewaktu-waktu akan tercium pula baunya. Akhirnya, alasan kenapa Alif tidak pernah hadir menjengukku terbongkar saat aku ngotot menanyakan ke salah seorang kakak kelasku. Hingga aku menerima pesan sms dari kakak kelasku.

Loh, kamu tiak tahu Di. Maaf kakak harus ceritakan ini padamu. Tapi kamu harus janji kamu bisa sabar menerima ini ya.” Balas kakak kelasku.
“iya kak. Saya janji. Bisa kakak katakan kemana Alif selama ini?” Balasku lagi
“Sebenarnya Alif sudah meninggal 2 bulan yang lalu Di. Kami sengaja tidak menceritakan ini padamu karena keadaanmu yang masih kritis saat itu. Kamu yang sabar ya” Balasnya lagi.
“Loh !! yang benar saja kak? Kakak jangan bercanda ah.” Balasku
“Iya Di, beneran kok. Dia meninggal tepat dua bulan yang lalu yaitu hari kamu kecelakaan itu.” Tegasnya dalam pesan SMS-nya.

Tanpa ku balas lagi pesannya. Aku hanya terkejut tak percaya dan seakan disambar petir di siang hari saat tahu bahwa temanku sudah meninggal tepat 2 bulan yang lalu. Aku merasa bersalah karena aku merasa bukanlah sahabat yang baik baginya. Sahabat macam apakah aku, temanku meninggal saja tidak tahu. Apa aku layak dikatakan sahabat? Dan  kenapa secepat itu ia pergi? kenapa sampai hati ayah dan ibuku menyimpan rahasia sebesar ini dariku. Kesedihanku tidak bisa ku bending lagi. Rasanya penyesalan itu datang berangsur-angsur dalam hatiku.

Setelah ku pastikan dari kakak kelasku, malamnya ku temui ayah dan ibuku. Kutanyakan dan ku perjelas bahwa kenapa selama ini mereka membohongiku. Berita sebesar ini bisa mereka rahasiakan dariku selama 2 bulan lebih. Akhirnya Ayah dan ibuku memperjelas bahwa ini semua demi kebaikanku. Aku tidak marah terhadap mereka, karena aku tahu alasan mereka termasuk logis karena ini demi kebaikanku juga. Mereka tidak ingin aku strees dan akan memperlambat kesembuhanku karena jika mengetahui temanku yg sudah bersamaku itu sejak masih kelas 1 SD tersebut sudah tiada dengan sebab-akibat menolongku dari kecelakaan saat itu. Tak bisa kukeluarkan kata-kata apapun saat itu. Tidak ada air mata yg keluar karena aku tidak tahu harus kucurahkan dalam bentuk apa kesedihanku.

Ternyata saat aku dilarikan ke rumah sakit, takdir lain telah terjadi pula bersamaan saat aku pingsan pada diri temanku saat itu. Menurut cerita saksi dan orang-orang yang berada di tempat saat itu, ternyata Alif masih ditengah jalan saat aku telah didorongnya dari ancaman maut tabrakan motor yg hampir menabrakku. Tanpa sempat ia mengelak lagi dari posisi dimana ia mendorongku, sebuah truk besar bermuatan sepeda motor dengan laju yg kencang dari belakangnya langsung melaju kearah temanku itu dan menjadikan keadaannya tak bernyawa di tempat itu juga. Alif mengalami cedera dalam yang cukup parah. Hal ini tampak pada sekujur tubuhnya yang tidak terluka namun hanya darah yang mengalir dari telinga dan mulutnya. Hanya itu saja yang dikatakan oleh orang-orang yang ada di lokasi saat itu yang melihat keadaan temanku. Hingga saat ini aku tidak tahu apa saja yg terjadi pada temanku itu karena aku tidak bisa mengingat ulang kejadian saat itu.

Langsung ku hubungi salah satu teman sekelasku. Ku minta dia mengantarkanku ke makam temanku itu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang ku dengar dari orang-orang di sekitarku. Apakah mereka hanya berbual atau apa entahlah. Aku ingin memastikan langsung ke tempat peristirahatan terakhir temanku itu.

Aku langsung diantar oleh temanku ke makam Alif. Sesampainya disana, dari kejauhan kulihat sebuah makam yg sudah agak lama dan tepat di nisannya bertuliskan nama temanku “Alif bin Zulkifli” dan tertulis pula tanggal meninggalnya tepat dimana 2 bulan yang lalu saat aku mengalami kecelakaan yg hampir merenggut nyawaku yaitu 10 Mei 2010. Bersimpuh aku didepan makam sahabatku itu. Kalian juga tahu bagaimana yang aku rasakan saat itu, merasa bersalah, berdosa, sekaligus berjasa dengannya. Aku yang tidak mendengarkan apa alasan dia terlambat pagi itu menjadi hal misteri terbesar dan ingin sekali ku tanyakan padanya jika waktu bisa diputar kembali. 

“Lif, aku minta maaf. Aku benar-benar teman yang tidak tahu balas budi, aku jahat lif. Aku minta maaf lif, sekarang katakan padaku apa alasan kamu terlambat saat itu. Aku mohon Lif, aku akan dengar semua itu. Aku belum layak menjadi sahabatmu lif.” Aku meminta maaf terhadapnya. Aku seperti orang gila yang dirundung rasa bersalah dan penyesalan dengan sikapku. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa takdir berkata lain. Air mataku saat itu tidak bisa ku bendung lagi. Aku merasa bersalah sekali dengan temanku itu. Kata-kata terakhir yang sempat ku dengar adalah seruan dia yang mengatakan awas dan mendorongku dari tabrakan motor saat itu. Aku tidak tahu harus apa. Penyesalan seakan menjadi hal terbesar yang harus ku akui yang terjadi dalam hidup ini. Ini semua akibat keegoisanku. 

“di sabar di. Udah kok, dia pasti memaafkan kamu. Diakan sahabat kita, jelas dia tidak pernah dendam denganmu. Biar dia tenang disana.” Ucap kawanku sambil mengelus pundakku.
“tapi ris, aku benar-benar menyesal ris. Aku yang pagi itu tidak mau mendengarkan alasan dia telat. Aku egois, aku emosional. Aku menyesal.” Ucapku lirih.

“udahlah, jadikan ini pelajaran berharga dalam hidupmu. Makanya untuk nanti ke depan bisa dijadikan pedoman untuk mengubah sikapmu. Aku yakin bahwa semua sudah menjadi garis takdir untuk setiap orang.”

Aku tidak menyesal dengan kepergian sahabatku itu, kadang yang membuatku sedikit merasa sedih adalah tentang alasan ia pagi itu. Aku ingin tahu apa alasan dia terlambat pagi itu. Dan sangat ingin kuminta maaf sebesar-besarnya terhadap dia karena aku tahu  selama ini aku belum menjadi sahabat yang baik baginya. Dia adalah sahabat yang paling baik yang pernah aku miliki dan belum ada gantinya untuk saat ini. mungkin saja orang lain sering mengatakan bahwa Alif adalah orang bodoh karena berteman dengan orang yang emosional sepertiku,  tapi dia tetap bersahabat denganku baik itu dalam keadaan susah maupun senang. Itulah hal yang membuat aku tidak pernah melupakannya.

Terkadang juga aku sendiri merenung, didalam keadaan yg tidak sedih terdapat pula kesedihan yang mendalam yg ku rasakan. Kesedihan itu kadang bercampur kebahagiaan pula dimana aku selalu memikirkan bahwa tuhan sudah mengirimkan seorang sahabat untukku selama ini. Ia telah mengorbankan nyawanya demi orang yang ia anggap sebagai sahabat tetapi belum memberikan kontribusi yang baik baginya. Seorang sahabat baginya yg mungkin sering membuat dia terluka perasaan dengan ocehanku yg berlebihan. 

Satu hal pula yg aku salut dan harus ku akui dari dia. Setiap kali aku marah dengan sesuatu baik itu OSIS atau apa, selalu amarah itu ku limpahkan kepada dia. Akan tetapi responnya yg ia berikan itu sangat berbalik dengan apa yg aku lakukan terhadapnya. Ia tidak pernah marah bahkan selalu mengerti bahwa aku sedang punya banyak masalah. Aku merasa berjasa dan merasa bersalah dengannya, andai saja waktu bisa diputar, aku ingin memperbaiki itu semua karena sangat banyak yg ingin ku perbaiki untuk kebaikannya. Tapi itulah garisan takdir yang mungkin setiap orang akan berbeda tanggapan. Aku yakin semua itu sudah kehendak-Nya dan aku selaku hamba tidak punya kuasa untuk melawan.

Aku selalu tersenyum sambil mecurahkan sedikit kebahagiaanku lewat setitik air mata dimana aku yakin dengan pernyataan yg selama ini ku pegang “Tuhan tidak pernah mengambil sahabatku, Tuhan hanya mengambil jiwanya akan tetapi suatu saat aku yakin bahwa Tuhan akan mengirimkan yg lebih darinya untuk menjadi perbaikan dalam diriku selama ini karena sifatku yang belum baik.” Dan pernyataan itu sudah terbukti, bahwa sekarang sahabatku sudah hadir dalam jiwa yg lain. Meski jiwa yang berbeda, aku yakin dialah sahabatku yg tuhan kirimkan untuk kesempatanku memperbaiki semua yang telah aku lakukan terhadap temanku itu. Dimana setiap kali aku melihat Ardhi, aku selalu melihat sosok Alif yang ada padanya. Setiap kali melihat dia, aku selalu merasa kejadian 6 tahun yang lalu itu terulang lagi dan rasanya aku punya kesempatan untuk meminta maaf kepadanya atas keegoisanku pada pagi itu yang tidak mau mendengar alasannya. Terimakasih Alif, kamu akan selalu menjadi teman dalam hidup saya dan insyaallah akan berjumpa di akhirat nanti. Aminnn

 Selamat jalan sahabatku, aku selalu mendoakanmu dan terima kasih atas sinar dan kesabaranmu menghadapi sahabat seegois aku. Aku yakin kamu sudah tenang disisi-Nya.

*nama tokoh dalam cerita adalah nama pengganti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar