Namaku Edi. Aku adalah anak pertama dari tiga
bersaudara. Kedua adik-adikku perempuan. Saat ini aku berkuliah di salah satu
Universitas terbaik di Aceh. Ini adalah kisahku dimana hal yang tidak bisa ku
lupakan dalam hidupku. Sebenarnya sudah ku kubur dalam-dalam kisah ini. akan
tetapi, kisah ini muncul lagi saat aku mengenal seorang mahasiswa seangkatanku
bernama Ardhi. Terasa kejadian 6 tahun yang lalu itu terulang lagi pada detik
ini saat aku melihat Ardhi. Wajah, suara, perilaku, dan tingkahnya 100% sama
dengan teman karibku, Alif. Hanya satu hal yang tidak terlalu mirip adalah saat
diajak bicara. Hanya sedikit saja perbedaan, sedangkan yang lain persis sama.
Setiap kulihat temanku yang baru saja kukenal di organisasi BEM itu, selalu aku
ingin rasanya meminta maaf padanya dan tidak akan kuulangi apa yg telah terjadi
padaku 6 tahun yang lalu. Setiap kali kulihat ia, rasa penyesalan itu datang
lagi setelah mati selama 6 tahun yang lalu. Rasanya Alif berada dalam jiwa
temanku yang satu ini dan aku rasa, tuhan sengaja mengirimkan dia agar aku bisa
memperbaiki kesalahan dan sikapku yg emosional terhadapnya.
Masih kuingat pagi itu 10 Mei 2010 dimana kejadian
itu menjadi hal terpahit dalam hidup ini. Dimana tepat 6 tahun yang silam saat
aku masih duduk di kelas 2 SMP dan aku punya seorang teman yang sudah lama
kukenal. Alif namanya. Ia adalah satu-satunya sahabatku yang paling baik dan
sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Orangnya yang sabar, rajin dalam
segala hal terutama beribadah, berbakti kepada orang tua, dan perilaku yang
sopan dan tidak sombong menjadikan dia lebih unggul daripada aku. Memang aku
belajar banya hal darinya karena aku merasa bahwa masih kurang pengetahuan
dalam hal agama. Seringkali aku dinasehati olehnya dikala mungkin aku menjadi
manusia yang lupa akan sesuatu yang baik. Setiap aku mendapat kebahagiaan, ia tak
pernah merasa iri atau apa. Akan tetapi sebaliknya yg ia rasakan adalah
kebahagiaan yang aku rasakan. Ia seakan selalu ada disaat aku berada dalam situasi
dan kondisi apapun. Pokoknya ia adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Ia
berasal dari keluarga sederhana pula sama sepertiku dan tidak suka
berfoya-foya. Hingga detik ini, ia belum bisa digantikan oleh siapapun sebagai
sahabatku.
Masih ku ingat pagi itu pagi Senin, aku sudah tiba
lebih awal di sekolahku. Walaupun masih jam 6;30, aku sudah berada di SMP
karena harus mengurus peserta upacara bendera paginya sebagai tanggung jawabku
selaku ketua OSIS di SMP tempat aku bersekolah. Sedangkan temanku, Alif datang
setelah 30 menit kemudian tepatnya jam 07:00 wib. Aku sedikit merasa kesal
dengannya karena Alif sebagai ketua bidang berbakti kepada Negara, pagi ini
harus bertugas menyiapkan peserta pelaksana upacara bendera. Tanpa ku pikirkan
kehadiran si Alif lagi, Aku dan teman-teman osis lainnya menyiapkan persiapan
upacara. Setelah aku dan teman-teman lainnya menyiapkan perlengkapan dan
keperluan pelaksanaan upacara, barulah Alif datang dengan raut wajah seolah memilas
kasihan. Aku tidak mempedulikannya karena perasaan marah dengannya akibat ia datang ke sekolah
yang tidak konsisten pagi itu masih belum hilang.
Setelah
upacara bendera selesai dan setelah kubereskan semua perkakas upacara. Sedang
aku membereskan peralatan selesai upacara, Alif datang dan meminta maaf
kepadaku.
“Di, aku benar-benar minta maaf ya. Karena datang
terlambat. Tadi….”
“jadi orang konsisten sedikit bisa? saya sudah susun
semua dari kemarin. Dan anda sudah menyepakati untuk memenuhi semua itu, kenapa
pada hari hal anda tidak menepati sesuai kesepatakan?” Gaya bicara ku yang
formal seakan ingin ku abaikan temanku itu.
“tapi… aku punya alasan kuat di…. Maaf banget.” Dia
memohon.
“sudah, kalau anda tidak bisa konsisten, anda bisa
undurkan diri dari jabatan ini.” Ucapku
sambil bergegas masuk ke kelas. Aku tidak mempedulikan alasan apa yang si Alif
akan katakan untuk membantu ia keluar dari masalah ketidak tepatan-waktunya.
Pagi itu aku
belajar dengan suasana yang agak berbeda. Kurasakan tidak enak karena aku sudah
terlalu bersikap egois dan emosionalku tidak terkontrol terhadap temanku itu.
Padahal kejadian tadi pagi itu tidak harus terlalu dipermasalahkan. Tapi di
lain sisi aku sempat berpikir kalau ini terus dibiarkan, maka orang lain pasti
akan mengejekku dan berkata bahwa aku tidak bisa bersikap konsisten terhadap
bawahan dan aku bersikap tidak adil jika tidak menegur temanku sendiri. Jelas
ini bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pikiranku semakin kacau. Tak lama
kemudian, aku bergegas keluar kelas karena jam istirahat sudah berbunyi.
Seperti biasa aku menghabiskan waktu istirahat di kantin untuk bertemu dg
teman-teman dari berbagai kelas. Jujur saja, aku lebih banyak bergaul dengan
siswa yg berbeda kelas dibandingkan dengan siswa yang ada dalam kelasku sendiri.
Rasanya memiliki banyak teman di luar kelas itu adalah hal yg luar biasa karena
selain memiliki banyak pergaulan, aku juga bisa berbagi banyak pengalaman saat
berada di kelas yang berbeda. Tak terkecuali dengan temanku yang baru saja ku
tegur keras itu. Alif adalah siswa kelas 2E yang jauh dari kelasku yaitu kelas
2B. walaupun demikian, aku dan Alif sudah berteman sejak kami kelas 1 SD. Masih
ku ingat saat itu aku pertama kalinya mengenal ia yaitu saat aku diantar ayahku
ke sekolah untuk pertama kalian. Aku yg masih pemalu dan pendiam saat itu
seakan tidak punya teman. Hanya Aliflah yang selalu berteman denganku hingga
saat ini aku yang sudah duduk di kelas 2 SMP. Pertemanan yang begitu lama itu
tak jauh dari tantangan. Sikapku yang selalu ingin menang sendiri dan egois
mungkin saja membuat setiap orang kesal. Akan tetapi tidak dengan temanku yang
satu itu, ia tetap mengalah walau aku mengata-ngatai dia saat aku punya masalah
dengan akademikku ataupun dengan organisasiku. Aku seringkali melimpahkan amarahku
padanya dikala aku tidak bisa menghandle masalah organisasiku. Aku bahkan
seakan menjadi macan baginya.
Saat hari menjelang siang, tepatnya jam 13:20 Wib. Itu
artinya 10 menit lagi jam sekolah akan segera berakhir. Aku sedikit merasa
kelaparan saat itu karena makanan yg ku makan di kantin tadi tidak begitu
mengisi perutku karena keasyikan ngobrol bareng teman-temanku. Akhirnya 10
menit itu tidak terasa karena sekarang bel tanda pulang sudah berbunyi. Segera
ku bereskan buku-buku yang ada di meja dan ku langkahkan kaki ke depan dan
akhirnya aku sudah sampai di depan gerbang berukuran 3 meter menjulang keatas
dan berlambangkan tut wuri handayani itu.
Biasanya di hari-hari lain, aku selalu menunggu
temanku untuk pulang bareng. Namun tidak dengan hari ini. Aku memutuskan untuk
bergegas pulang sendiri karena aku ingin memberi pelajaran keras terhadap
temanku itu atas keasalahannya agar ia tidak mengulanginya lagi. Sikapku yang
masih labil seakan tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Harus kuakui bahwa
aku hanya bisa memberlakukan pernyataan konsisten terhadap orang lain, akan
tetapi hal itu seakan tidak berlaku padaku.
Setelah beberapa langkah aku berjalan kaki, ku
dengar suara yang memanggilku dari arah belakang. Aku tahu siapa yang
memanggilku. Siapa lagi kalau bukan si temanku itu. Ia rupanya masih ingin
menjelaskan alasan ia terlambat tadi pagi. Akhirnya aku berjalan cuek dan tidak
menghiraukan panggilannya.
“Di, tungguin aku. Aku minta maaf dah gara-gara tadi
pagi itu. Ya memang itu kesalahanku dan aku tidak akan mengulanginya.” Ucapnya
berjanji sambil mengejar langkahku dari belakang.
“Anda itu kalau nggak
bisa konsisten dengan waktu ya, sebaiknya lepas saja jabatan sebagai kabid.
Banyak kok yg masih mau dan mampu untuk
digantikan di bidang anda.” Ucapku.
“Tadi itu…” Ucapannya terputus karena aku
memotongnya.
“Sudahlah, itu alasan klasik anda bukan? Kalau
alasan karena terlambat bangun, itu semua orang bisa. Mendingan sekarang anda pulang
dan buktikan pada ketua anda ini kalau anda bisa menjadi orang yang konsisten
dalam berorganisasi.” Ucapku dengan emosi.
“yaudah deh, tapi dengarkan alasanku dulu Di.
Ini benar-benar beda dari yang alasan biasanya.” Ucapnya masih ingin
menjelaskan.
“Nanti kalau saya sudah punya waktu, saya akan
dengarkan alasan anda. Sekarang sebaiknya diam dan pulang saja dulu.” Ucapku
menutup pembicaraan dan raut wajah serius.
Aku dan Alif berjalan bersama akan tetapi suasana
pulang kali ini hanya diam saja. Dia yang sudah tahu akan sifat asliku seakan
tak mau memperpanjang masalah. Ia paling tahu sikapku bahwa kemarahanku hanya
bertahan paling lama sekitar 10 jam atau 1 hari saja. Setelah itu aku akan
kembali normal. Wajar saja jika ia tidak memperdebatkan itu lagi. Lagipula Ia
selalu menurut apa kataku. Mungkin karena hatinya yang begitu sabarlah yang
membuat ia selalu menjadi anak yang disayangi di sekolah. Andai saja aku
menjadi dia dan berada di posisi dia yang mempunyai seorang sahabat egois,
jengkel dan seemosional aku, mungkin saja sudah ku tendang ke lautan lepas.
Kira-kira 400 meter dari jarak sekolah, aku
berencana untuk membeli keperluan sekolahku di salah satu kedai photocopy yang
berada tak jauh di seberang jalan raya.
“Saya
mau beli perlengkapan tugas dan kertas karton dulu. Anda silahkan berjalan
duluan.” Ucapku masih serius.
“Iya
Di, aku tunggu disini saja. Jangan lama ya,soalnya aku ada les juga sore ini.”
Ucapnya.
Aku langsung bergegas ke seberang jalan dan beberapa menit kemudian aku kembali ke tempat
temanku menunggu. Kuseberangi jalan diantara sela-sela kendaraan yang tidak terlalu banyak dengan beberapa alat
tulis di tangan untuk tugas sekolahku itu. Tiba-tiba saja dari kejauhan ada sebuah
kendaraan motor yang dikendarai oleh seorang pria berjaket hitam seperti orang
mabuk dengan tanpa rem langsung melaju kencang ke arahku. Motor tersebut seakan
tak melihat bahwa ada orang didepannya. Aku hanya tertegun melihat motor yg
melaju kencang itu ke arahku dan seakan tak bisa ku gerakkan kaki. Dari
kejauhan Alif berteriak sambil berlari ke arahku, lalu dengan cepat ia
mendorongku ke seberang jalannya.
“Di
awass!!” itulah kata terakhir yg ku dengar saat dia mendorongku hingga aku
jatuh terbentur pinggiran jalan itu dan tak sadarkan diri. Aku juga sempat
terserempet sepeda motor lain di bagian rusukku hingga kulitku tersobek dan
mengeluarkan darah. Keadaanku sudah tak bisa ku ceritakan lagi. Dunia seakan
gelap dan tak tahu lagi bagaimana keadaannya. Kakiku terbentur beton pinggiran
jalan dan aku terjatuh hingga kepalaku ikut terbentur aspal jalan. Kakiku dan
seluruh badanku mengeluarkan banyak darah akibat terbentur beton dan juga
terkena pingiran pagaran seng karena dorongan dari temanku yang begitu kuat. Orang-orang dengan segera berkerumunan
mendekatiku. Ada yang berteriak dan juga menangis histeris melihat keadaanku.
Dengan segera aku dilarikan ke rumah sakit. Kaki
kiriku mengeluarkan banyak darah dan mengalami patah tulang terbuka. Tidak tahu bagaimana
ceritanya aku bisa sampai ke rumah sakit. Akhirnya setelah 1 jam aku tak
sadarkan diri, jam 4 sore aku kembali siuman. Kurasakan keadaan yg tidak
biasanya. Terpasang di tangan kanan dan kiriku impuls yg dilengkapi dengan
berbagai peralatan yg mengerikan yg ada di rumah sakit yg sering ku lihat saat
aku berkunjung. Nafasku seakan tak bisa ku hembuskan. Banyak orang dan keluargaku
yg berdiri di dekat ranjang tempat aku terbaring. Aku hanya bisa mengedipkan
mata dan tak bisa mengeluarkan suara. Ibuku dan ayahku seakan tak mau
mengeluarkan kesedihannya didepanku. Hal ini tampak matanya yg berkaca-kaca.
Mereka seakan menahan tangisan yg dipendam karena sayangnya terhadap anaknya
dalam keadaan terbaring saja di rumah sakit.
Keadaanku saat itu benar-benar sangat tragis. Kaki
kiriku yang dibidai dan seluruh wajahku yg lecet terkena aspal dan lembam. Aku seakan menjadi manusia yang tak berdaya. Sempat
kubayangkan bahwa aku sudah tidak memiliki kesempatan untuk hidup lagi. Sesaat kemudian
aku menyadari bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan, dan hal pertama yg
kutanyakan pada orangtuaku adalah dimana temanku itu. Mengapa ia tidak tampak
semenjak aku sadar dari tadi. Mereka mengatakan bahwa temanku itu baru saja
pulang setelah membawakan aku ke rumah sakit karena keadaannya yg sedikit
demam.
“Tadi si Alif memang disini tunggu kamu sadar,
sekarang dia sudah balik dulu ke rumah karena nggak enak badan. Lagipula dia belum ganti baju sekolah yang kena
darah kamu. Nanti dia juga balik lagi.” Ucap ibuku.
Sementara itu aku hanya mengangguk kecil dan percaya
apa yang dikatakan oleh ibuku. Aku sempat merasakan pegal di kakiku karena
kehilangan banyak darah. Hal ini membuatku tidak bisa bergerak sama sekali dan
hanya terbaring seperti mumi yang ada di film-film.
Dua bulan telah berlalu. Keadaanku yg menjalani
terapi obat tradisional di rumah akhirnya membaik. Sudah hamper dua bulan aku
dibawa pulang ke rumah karena beberapa minggu dirawat di rumah sakit. Namun,
Alif tak seharipun tampak menjengukku. Hal yang membuat aku bingung dan
penasaran. Saat kutanyakan kemana temanku itu, kenapa ia tidak pernah tampak
semenjak aku dirawat di rumah sakit hingga aku dibawa pulang ke rumah. Setiap
kutanyakan kepada orangtuaku, mereka hanya menjawab bahwa sahabatku itu sibuk
dan belum sempat menjengukku. Lagi-lagi kutanyakan dengan pertanyaan yang sama.
Namun, jawabannya hanya dengan alasa bahwa temanku datang disaat aku terlelap.
Jadi, ia tidak berani menggangguku tidur. Aku sempat curiga dengan sikap dan
pernyataan keluargaku. Aku juga sempat beranggapan apakah temanku itu masih
marah denganku atau ada alasan lain sehingga dia tidak pernah tampak semenjak
aku dirawat di rumah sakit hingga aku kembali ke rumah. Hingga pada suatu hari
aku kembali mencoba mencari tahu kepada teman-temanku tentang Alif temanku. Ku
kirim SMS ke salah satu kawanku dengan trikku agar aku tahu apa yang sebenarnya
terjadi dengan temanku itu. Akan tetapi teman-temanku tak ada satupun yang
tahu. Jawaban mereka sama seperti apa yang ayah dan ibuku jawab. Mereka berkata
bahwa Alif pergi sekolah setiap hari.
Hanya saja mereka tidak tahu kenapa Alif tidak pernah datang menjengukku.
Padahal seluruh teman-temanku dan guruku sudah datang menjenguk keadaanku.
Bahkan orangtua Alif juga sempat datang beberapa hari yang lalu. Aku tidak
percaya bahwa sikap temanku itu yang selama ini sabar tetapi berubah dalam
sekejap menjadi orang pendendam. Aku tahu betul sifat dia seperti apa. Tidak
mungkin hanya karena masalah pagi itu ia menjadi marah padaku.
Ternyata tak selamanya mangga bisa disembunyikan.
Sewaktu-waktu akan tercium pula baunya. Akhirnya, alasan kenapa Alif tidak
pernah hadir menjengukku terbongkar saat aku ngotot menanyakan ke salah seorang kakak kelasku. Hingga aku
menerima pesan sms dari kakak kelasku.
“Loh, kamu
tiak tahu Di. Maaf kakak harus ceritakan ini padamu. Tapi kamu harus janji kamu
bisa sabar menerima ini ya.” Balas kakak kelasku.
“iya kak. Saya janji. Bisa kakak katakan kemana Alif
selama ini?” Balasku lagi
“Sebenarnya Alif sudah meninggal 2 bulan yang lalu
Di. Kami sengaja tidak menceritakan ini padamu karena keadaanmu yang masih
kritis saat itu. Kamu yang sabar ya” Balasnya lagi.
“Loh !! yang benar saja kak? Kakak jangan bercanda
ah.” Balasku
“Iya Di, beneran
kok. Dia meninggal tepat dua bulan yang lalu yaitu hari kamu kecelakaan itu.”
Tegasnya dalam pesan SMS-nya.
Tanpa ku balas lagi pesannya. Aku hanya terkejut tak
percaya dan seakan disambar petir di siang hari saat tahu bahwa temanku sudah
meninggal tepat 2 bulan yang lalu. Aku merasa bersalah karena aku merasa
bukanlah sahabat yang baik baginya. Sahabat macam apakah aku, temanku meninggal
saja tidak tahu. Apa aku layak dikatakan sahabat? Dan kenapa secepat itu ia pergi? kenapa sampai
hati ayah dan ibuku menyimpan rahasia sebesar ini dariku. Kesedihanku tidak
bisa ku bending lagi. Rasanya penyesalan itu datang berangsur-angsur dalam
hatiku.
Setelah ku pastikan dari kakak kelasku, malamnya ku
temui ayah dan ibuku. Kutanyakan dan ku perjelas bahwa kenapa selama ini mereka
membohongiku. Berita sebesar ini bisa mereka rahasiakan dariku selama 2 bulan
lebih. Akhirnya Ayah dan ibuku memperjelas bahwa ini semua demi kebaikanku. Aku
tidak marah terhadap mereka, karena aku tahu alasan mereka termasuk logis
karena ini demi kebaikanku juga. Mereka tidak ingin aku strees dan akan memperlambat
kesembuhanku karena jika mengetahui temanku yg sudah bersamaku itu sejak masih
kelas 1 SD tersebut sudah tiada dengan sebab-akibat menolongku dari kecelakaan
saat itu. Tak bisa kukeluarkan kata-kata apapun saat itu. Tidak ada air mata yg
keluar karena aku tidak tahu harus kucurahkan dalam bentuk apa kesedihanku.
Ternyata saat aku dilarikan ke rumah sakit, takdir
lain telah terjadi pula bersamaan saat aku pingsan pada diri temanku saat itu.
Menurut cerita saksi dan orang-orang yang berada di tempat saat itu, ternyata Alif
masih ditengah jalan saat aku telah didorongnya dari ancaman maut tabrakan
motor yg hampir menabrakku. Tanpa sempat ia mengelak lagi dari posisi dimana ia
mendorongku, sebuah truk besar bermuatan sepeda motor dengan laju yg kencang dari
belakangnya langsung melaju kearah temanku itu dan menjadikan keadaannya tak
bernyawa di tempat itu juga. Alif mengalami cedera dalam yang cukup parah. Hal
ini tampak pada sekujur tubuhnya yang tidak terluka namun hanya darah yang
mengalir dari telinga dan mulutnya. Hanya itu saja yang dikatakan oleh
orang-orang yang ada di lokasi saat itu yang melihat keadaan temanku. Hingga
saat ini aku tidak tahu apa saja yg terjadi pada temanku itu karena aku tidak
bisa mengingat ulang kejadian saat itu.
Langsung ku hubungi salah satu teman sekelasku. Ku
minta dia mengantarkanku ke makam temanku itu. Aku masih tidak percaya dengan
apa yang ku dengar dari orang-orang di sekitarku. Apakah mereka hanya berbual
atau apa entahlah. Aku ingin memastikan langsung ke tempat peristirahatan
terakhir temanku itu.
Aku langsung diantar oleh temanku ke makam Alif.
Sesampainya disana, dari kejauhan kulihat sebuah makam yg sudah agak lama dan
tepat di nisannya bertuliskan nama temanku “Alif bin Zulkifli” dan tertulis
pula tanggal meninggalnya tepat dimana 2 bulan yang lalu saat aku mengalami
kecelakaan yg hampir merenggut nyawaku yaitu 10 Mei 2010. Bersimpuh aku didepan
makam sahabatku itu. Kalian juga tahu bagaimana yang aku rasakan saat itu,
merasa bersalah, berdosa, sekaligus berjasa dengannya. Aku yang tidak
mendengarkan apa alasan dia terlambat pagi itu menjadi hal misteri terbesar dan
ingin sekali ku tanyakan padanya jika waktu bisa diputar kembali.
“Lif, aku minta maaf. Aku benar-benar teman yang
tidak tahu balas budi, aku jahat lif. Aku minta maaf lif, sekarang katakan
padaku apa alasan kamu terlambat saat itu. Aku mohon Lif, aku akan dengar semua
itu. Aku belum layak menjadi sahabatmu lif.” Aku meminta maaf terhadapnya. Aku
seperti orang gila yang dirundung rasa bersalah dan penyesalan dengan sikapku. Aku
benar-benar tidak menyangka bahwa takdir berkata lain. Air mataku saat itu
tidak bisa ku bendung lagi. Aku merasa bersalah sekali dengan temanku itu.
Kata-kata terakhir yang sempat ku dengar adalah seruan dia yang mengatakan awas
dan mendorongku dari tabrakan motor saat itu. Aku tidak tahu harus apa.
Penyesalan seakan menjadi hal terbesar yang harus ku akui yang terjadi dalam
hidup ini. Ini semua akibat keegoisanku.
“di sabar di. Udah kok, dia pasti memaafkan kamu.
Diakan sahabat kita, jelas dia tidak pernah dendam denganmu. Biar dia tenang
disana.” Ucap kawanku sambil mengelus pundakku.
“tapi ris, aku benar-benar menyesal ris. Aku yang
pagi itu tidak mau mendengarkan alasan dia telat. Aku egois, aku emosional. Aku
menyesal.” Ucapku lirih.
“udahlah, jadikan ini pelajaran berharga dalam
hidupmu. Makanya untuk nanti ke depan bisa dijadikan pedoman untuk mengubah
sikapmu. Aku yakin bahwa semua sudah menjadi garis takdir untuk setiap orang.”
Aku tidak menyesal dengan kepergian sahabatku itu,
kadang yang membuatku sedikit merasa sedih adalah tentang alasan ia pagi itu.
Aku ingin tahu apa alasan dia terlambat pagi itu. Dan sangat ingin kuminta maaf
sebesar-besarnya terhadap dia karena aku tahu selama ini aku belum menjadi sahabat yang baik
baginya. Dia adalah sahabat yang paling baik yang pernah aku miliki dan belum
ada gantinya untuk saat ini. mungkin saja orang lain sering mengatakan bahwa
Alif adalah orang bodoh karena berteman dengan orang yang emosional sepertiku, tapi dia tetap bersahabat denganku baik itu
dalam keadaan susah maupun senang. Itulah hal yang membuat aku tidak pernah
melupakannya.
Terkadang juga aku sendiri merenung, didalam keadaan
yg tidak sedih terdapat pula kesedihan yang mendalam yg ku rasakan. Kesedihan
itu kadang bercampur kebahagiaan pula dimana aku selalu memikirkan bahwa tuhan
sudah mengirimkan seorang sahabat untukku selama ini. Ia telah mengorbankan
nyawanya demi orang yang ia anggap sebagai sahabat tetapi belum memberikan
kontribusi yang baik baginya. Seorang sahabat baginya yg mungkin sering membuat
dia terluka perasaan dengan ocehanku yg berlebihan.
Satu hal pula yg aku salut dan harus ku akui dari
dia. Setiap kali aku marah dengan sesuatu baik itu OSIS atau apa, selalu amarah
itu ku limpahkan kepada dia. Akan tetapi responnya yg ia berikan itu sangat
berbalik dengan apa yg aku lakukan terhadapnya. Ia tidak pernah marah bahkan
selalu mengerti bahwa aku sedang punya banyak masalah. Aku merasa berjasa dan
merasa bersalah dengannya, andai saja waktu bisa diputar, aku ingin memperbaiki
itu semua karena sangat banyak yg ingin ku perbaiki untuk kebaikannya. Tapi
itulah garisan takdir yang mungkin setiap orang akan berbeda tanggapan. Aku
yakin semua itu sudah kehendak-Nya dan aku selaku hamba tidak punya kuasa untuk
melawan.
Aku selalu tersenyum sambil mecurahkan sedikit kebahagiaanku
lewat setitik air mata dimana aku yakin dengan pernyataan yg selama ini ku
pegang “Tuhan tidak pernah mengambil sahabatku, Tuhan hanya mengambil jiwanya
akan tetapi suatu saat aku yakin bahwa Tuhan akan mengirimkan yg lebih darinya
untuk menjadi perbaikan dalam diriku selama ini karena sifatku yang belum baik.”
Dan pernyataan itu sudah terbukti, bahwa sekarang sahabatku sudah hadir dalam
jiwa yg lain. Meski jiwa yang berbeda, aku yakin dialah sahabatku yg tuhan
kirimkan untuk kesempatanku memperbaiki semua yang telah aku lakukan terhadap
temanku itu. Dimana setiap kali aku melihat Ardhi, aku selalu melihat sosok
Alif yang ada padanya. Setiap kali melihat dia, aku selalu merasa kejadian 6
tahun yang lalu itu terulang lagi dan rasanya aku punya kesempatan untuk
meminta maaf kepadanya atas keegoisanku pada pagi itu yang tidak mau mendengar
alasannya. Terimakasih Alif, kamu akan selalu menjadi teman dalam hidup saya
dan insyaallah akan berjumpa di akhirat nanti. Aminnn
Selamat jalan
sahabatku, aku selalu mendoakanmu dan terima kasih atas sinar dan kesabaranmu
menghadapi sahabat seegois aku. Aku yakin kamu sudah tenang disisi-Nya.
*nama tokoh dalam cerita
adalah nama pengganti