Sabtu, 10 September 2016

Sang Tokoh dan Idolaku (Abdullah Ibnu Rawahah)


ABDULLAH IBNU RAWAHAH
Yang bersemboyan :
Wahai Diri ……..
Jika Kau Tidak Gugur di Medan Juang ……..
Kau Tetap Akan Mati ……..
Walau di Atas Ranjang ..……

Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah,  dengan  bersembunyi-sembunyi  dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari duabelas orang utusan suku atau kelompok  yang  kemudian  dikenal dengan nama Kaum Anshar.(penolong Rasul). Mereka sedang dibai'at Rasul (diambil Janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai'ah Al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi'ar IsIam pertama ke kota Madinah, dan bai'at  merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam ....Maka salah seorang dari utusan yang dibai'at Nabi itu, adalah Abdullah binRawahah.

Dan sewaktu pada tahun berikutnya, Rasulullah saw. membai'at. lagi tujuhpuluh tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai'at 'Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai'at itu.

Kemudian sesudah Rasullullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya. Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdulla bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, maka gagalah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.

Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka degan kepandaian tulisi baca. Ia juga seorang penyair yang lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar ....

Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu untuk mengabdi  bagi kejayaan Islam .....Dan Rasullullah menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat syair.

Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya: "Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?"

Jawab Abdullah: "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan". Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:

"Wahai putera Hasyim yang baik, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia.dan memberimu keutamaan, di mana orang tak usah iri.

Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.

Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka dan memecahkan persoalan tiadalah mereka henhak menjawab atau membela

Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda,bawa

Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa".

Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya: "Dan engkau pun akan diteguhkan Allah".

Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada 'umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil  membaca syair dari rajaznya:

"Oh Tuhan, kalauIah tidak karena Engkau, niscaya tidaklah ami akan mendapat petunjuk,   tidak   akan   bersedeqah dan Shalat!

Maka mohon diturunkan sakinah atas kami dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.

,Sesuhgguhnya Qrang-orang yang telah aniaya terhadap kami, biIa mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang".

Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim yang artinya :

"Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat".  (Q.S. Asy-syu'ara: 224)
Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya : Artinya :

"Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya". (Q.S. Asy-syu'ara : 227)

Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan:
"Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!"

Ia juga menyorakkan teriakan perang:
"Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikkan akan ditemui pada Rasulnya".

Dan datanglah waktunya perang Muktah ….Abdullah bin Rawahah adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam.

Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah …ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya;

" Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman
Keampunan dan kemenangan di medan perang
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan ….. Mati syahid di medan perang…!!"

Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang …., pukulan pedang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang berbahagia…!!

Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar duaratus ribu orang …, karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung alhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya ….!

Orang-orang Islam melihat jumlahmereka yang sedikit, lalu terdiam …dan sebagian ada yang menyeletuk berkata:
"Baiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jurnlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi".

Tetapi.Ibnu Rawahah,.bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu berucap:
"Kawan:kawan sekalian! Demi Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah Kita tidak memerangi memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan  Agama  kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah ... !

Ayohlah kita maju ….! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenagan atau syahid di jalan Allah ... !"

Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi  besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak:  "Sungguh, demi  Allah,  benar  yang dibilang Ibnu Rawahah.. !"

Demikianlah,  pasukan  terus ke tujuannya,  dengan  bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya.

Kedua pasukan, balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya.

Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja'far bin Abi Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran, dan menyusl pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Dikala itu ia memungut panji perang dari tangan kananya Ja'far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah diantara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.

Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat kehebatan tentara romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari  dirinya, sambil berseru:

"Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga
Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!"
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja'far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).

Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!" Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya …… Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka …. Tetapi waktu keberangkatan sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalananya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid…..

Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya:

"Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku:
Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!"
"Benar engkau, ya Ibnu Rawahah….! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah…..!"

Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa'  di Syam, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi ter;liam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatu disebabkan rasa duka dan belas kasihan ... ! Seraya memandang berkeliling ke  wajah  para shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata: "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid ..... Kemudian diambil alih oleh Ja'far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula ....". Be!iau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya: "Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur  bersama panji itu, sampai akhirnya ia·pun syahid pula".

Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula : "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …"
Perjalanan manalagi yang lebih mulia …….
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …….
Mereka maju ke medan laga bersama-sama …….
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula ….

Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi :

"Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……


Minggu, 04 September 2016

Sesal



Namaku Edi. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adik-adikku perempuan. Saat ini aku berkuliah di salah satu Universitas terbaik di Aceh. Ini adalah kisahku dimana hal yang tidak bisa ku lupakan dalam hidupku. Sebenarnya sudah ku kubur dalam-dalam kisah ini. akan tetapi, kisah ini muncul lagi saat aku mengenal seorang mahasiswa seangkatanku bernama Ardhi. Terasa kejadian 6 tahun yang lalu itu terulang lagi pada detik ini saat aku melihat Ardhi. Wajah, suara, perilaku, dan tingkahnya 100% sama dengan teman karibku, Alif. Hanya satu hal yang tidak terlalu mirip adalah saat diajak bicara. Hanya sedikit saja perbedaan, sedangkan yang lain persis sama. Setiap kulihat temanku yang baru saja kukenal di organisasi BEM itu, selalu aku ingin rasanya meminta maaf padanya dan tidak akan kuulangi apa yg telah terjadi padaku 6 tahun yang lalu. Setiap kali kulihat ia, rasa penyesalan itu datang lagi setelah mati selama 6 tahun yang lalu. Rasanya Alif berada dalam jiwa temanku yang satu ini dan aku rasa, tuhan sengaja mengirimkan dia agar aku bisa memperbaiki kesalahan dan sikapku yg emosional terhadapnya. 

Masih kuingat pagi itu 10 Mei 2010 dimana kejadian itu menjadi hal terpahit dalam hidup ini. Dimana tepat 6 tahun yang silam saat aku masih duduk di kelas 2 SMP dan aku punya seorang teman yang sudah lama kukenal. Alif namanya. Ia adalah satu-satunya sahabatku yang paling baik dan sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Orangnya yang sabar, rajin dalam segala hal terutama beribadah, berbakti kepada orang tua, dan perilaku yang sopan dan tidak sombong menjadikan dia lebih unggul daripada aku. Memang aku belajar banya hal darinya karena aku merasa bahwa masih kurang pengetahuan dalam hal agama. Seringkali aku dinasehati olehnya dikala mungkin aku menjadi manusia yang lupa akan sesuatu yang baik. Setiap aku mendapat kebahagiaan, ia tak pernah merasa iri atau apa. Akan tetapi sebaliknya yg ia rasakan adalah kebahagiaan yang aku rasakan. Ia seakan selalu ada disaat aku berada dalam situasi dan kondisi apapun. Pokoknya ia adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Ia berasal dari keluarga sederhana pula sama sepertiku dan tidak suka berfoya-foya. Hingga detik ini, ia belum bisa digantikan oleh siapapun sebagai sahabatku. 

Masih ku ingat pagi itu pagi Senin, aku sudah tiba lebih awal di sekolahku. Walaupun masih jam 6;30, aku sudah berada di SMP karena harus mengurus peserta upacara bendera paginya sebagai tanggung jawabku selaku ketua OSIS di SMP tempat aku bersekolah. Sedangkan temanku, Alif datang setelah 30 menit kemudian tepatnya jam 07:00 wib. Aku sedikit merasa kesal dengannya karena Alif sebagai ketua bidang berbakti kepada Negara, pagi ini harus bertugas menyiapkan peserta pelaksana upacara bendera. Tanpa ku pikirkan kehadiran si Alif lagi, Aku dan teman-teman osis lainnya menyiapkan persiapan upacara. Setelah aku dan teman-teman lainnya menyiapkan perlengkapan dan keperluan pelaksanaan upacara, barulah Alif datang dengan raut wajah seolah memilas kasihan. Aku tidak mempedulikannya karena perasaan  marah dengannya akibat ia datang ke sekolah yang tidak konsisten pagi itu masih belum hilang.

 Setelah upacara bendera selesai dan setelah kubereskan semua perkakas upacara. Sedang aku membereskan peralatan selesai upacara, Alif datang dan meminta maaf kepadaku.

“Di, aku benar-benar minta maaf ya. Karena datang terlambat. Tadi….”
“jadi orang konsisten sedikit bisa? saya sudah susun semua dari kemarin. Dan anda sudah menyepakati untuk memenuhi semua itu, kenapa pada hari hal anda tidak menepati sesuai kesepatakan?” Gaya bicara ku yang formal seakan ingin ku abaikan temanku itu.

“tapi… aku punya alasan kuat di…. Maaf banget.” Dia memohon.
“sudah, kalau anda tidak bisa konsisten, anda bisa undurkan diri dari jabatan ini.”  Ucapku sambil bergegas masuk ke kelas. Aku tidak mempedulikan alasan apa yang si Alif akan katakan untuk membantu ia keluar dari masalah ketidak tepatan-waktunya.

 Pagi itu aku belajar dengan suasana yang agak berbeda. Kurasakan tidak enak karena aku sudah terlalu bersikap egois dan emosionalku tidak terkontrol terhadap temanku itu. Padahal kejadian tadi pagi itu tidak harus terlalu dipermasalahkan. Tapi di lain sisi aku sempat berpikir kalau ini terus dibiarkan, maka orang lain pasti akan mengejekku dan berkata bahwa aku tidak bisa bersikap konsisten terhadap bawahan dan aku bersikap tidak adil jika tidak menegur temanku sendiri. Jelas ini bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pikiranku semakin kacau. Tak lama kemudian, aku bergegas keluar kelas karena jam istirahat sudah berbunyi. Seperti biasa aku menghabiskan waktu istirahat di kantin untuk bertemu dg teman-teman dari berbagai kelas. Jujur saja, aku lebih banyak bergaul dengan siswa yg berbeda kelas dibandingkan dengan siswa yang ada dalam kelasku sendiri. Rasanya memiliki banyak teman di luar kelas itu adalah hal yg luar biasa karena selain memiliki banyak pergaulan, aku juga bisa berbagi banyak pengalaman saat berada di kelas yang berbeda. Tak terkecuali dengan temanku yang baru saja ku tegur keras itu. Alif adalah siswa kelas 2E yang jauh dari kelasku yaitu kelas 2B. walaupun demikian, aku dan Alif sudah berteman sejak kami kelas 1 SD. Masih ku ingat saat itu aku pertama kalinya mengenal ia yaitu saat aku diantar ayahku ke sekolah untuk pertama kalian. Aku yg masih pemalu dan pendiam saat itu seakan tidak punya teman. Hanya Aliflah yang selalu berteman denganku hingga saat ini aku yang sudah duduk di kelas 2 SMP. Pertemanan yang begitu lama itu tak jauh dari tantangan. Sikapku yang selalu ingin menang sendiri dan egois mungkin saja membuat setiap orang kesal. Akan tetapi tidak dengan temanku yang satu itu, ia tetap mengalah walau aku mengata-ngatai dia saat aku punya masalah dengan akademikku ataupun dengan organisasiku. Aku seringkali melimpahkan amarahku padanya dikala aku tidak bisa menghandle masalah organisasiku. Aku bahkan seakan menjadi macan baginya.

Saat hari menjelang siang, tepatnya jam 13:20 Wib. Itu artinya 10 menit lagi jam sekolah akan segera berakhir. Aku sedikit merasa kelaparan saat itu karena makanan yg ku makan di kantin tadi tidak begitu mengisi perutku karena keasyikan ngobrol bareng teman-temanku. Akhirnya 10 menit itu tidak terasa karena sekarang bel tanda pulang sudah berbunyi. Segera ku bereskan buku-buku yang ada di meja dan ku langkahkan kaki ke depan dan akhirnya aku sudah sampai di depan gerbang berukuran 3 meter menjulang keatas dan berlambangkan tut wuri handayani itu. 

Biasanya di hari-hari lain, aku selalu menunggu temanku untuk pulang bareng. Namun tidak dengan hari ini. Aku memutuskan untuk bergegas pulang sendiri karena aku ingin memberi pelajaran keras terhadap temanku itu atas keasalahannya agar ia tidak mengulanginya lagi. Sikapku yang masih labil seakan tak pernah memikirkan perasaan orang lain. Harus kuakui bahwa aku hanya bisa memberlakukan pernyataan konsisten terhadap orang lain, akan tetapi hal itu seakan tidak berlaku padaku. 

Setelah beberapa langkah aku berjalan kaki, ku dengar suara yang memanggilku dari arah belakang. Aku tahu siapa yang memanggilku. Siapa lagi kalau bukan si temanku itu. Ia rupanya masih ingin menjelaskan alasan ia terlambat tadi pagi. Akhirnya aku berjalan cuek dan tidak menghiraukan panggilannya.

“Di, tungguin aku. Aku minta maaf dah gara-gara tadi pagi itu. Ya memang itu kesalahanku dan aku tidak akan mengulanginya.” Ucapnya berjanji sambil mengejar langkahku dari belakang.
“Anda itu kalau nggak bisa konsisten dengan waktu ya, sebaiknya lepas saja jabatan sebagai kabid. Banyak kok yg masih mau dan mampu untuk digantikan di bidang anda.” Ucapku.

“Tadi itu…” Ucapannya terputus karena aku memotongnya.
“Sudahlah, itu alasan klasik anda bukan? Kalau alasan karena terlambat bangun, itu semua orang bisa. Mendingan sekarang anda pulang dan buktikan pada ketua anda ini kalau anda bisa menjadi orang yang konsisten dalam berorganisasi.” Ucapku dengan emosi.

yaudah deh, tapi dengarkan alasanku dulu Di. Ini benar-benar beda dari yang alasan biasanya.” Ucapnya masih ingin menjelaskan. 

“Nanti kalau saya sudah punya waktu, saya akan dengarkan alasan anda. Sekarang sebaiknya diam dan pulang saja dulu.” Ucapku menutup pembicaraan dan raut wajah serius.

Aku dan Alif berjalan bersama akan tetapi suasana pulang kali ini hanya diam saja. Dia yang sudah tahu akan sifat asliku seakan tak mau memperpanjang masalah. Ia paling tahu sikapku bahwa kemarahanku hanya bertahan paling lama sekitar 10 jam atau 1 hari saja. Setelah itu aku akan kembali normal. Wajar saja jika ia tidak memperdebatkan itu lagi. Lagipula Ia selalu menurut apa kataku. Mungkin karena hatinya yang begitu sabarlah yang membuat ia selalu menjadi anak yang disayangi di sekolah. Andai saja aku menjadi dia dan berada di posisi dia yang mempunyai seorang sahabat egois, jengkel dan seemosional aku, mungkin saja sudah ku tendang ke lautan lepas. 

Kira-kira 400 meter dari jarak sekolah, aku berencana untuk membeli keperluan sekolahku di salah satu kedai photocopy yang berada tak jauh di seberang jalan raya. 

“Saya mau beli perlengkapan tugas dan kertas karton dulu. Anda silahkan berjalan duluan.” Ucapku masih serius.

“Iya Di, aku tunggu disini saja. Jangan lama ya,soalnya aku ada les juga sore ini.” Ucapnya.

Aku langsung bergegas ke seberang jalan dan  beberapa menit kemudian aku kembali ke tempat temanku menunggu. Kuseberangi jalan diantara sela-sela kendaraan yang  tidak terlalu banyak dengan beberapa alat tulis di tangan untuk tugas sekolahku  itu. Tiba-tiba saja dari kejauhan ada sebuah kendaraan motor yang dikendarai oleh seorang pria berjaket hitam seperti orang mabuk dengan tanpa rem langsung melaju kencang ke arahku. Motor tersebut seakan tak melihat bahwa ada orang didepannya. Aku hanya tertegun melihat motor yg melaju kencang itu ke arahku dan seakan tak bisa ku gerakkan kaki. Dari kejauhan Alif berteriak sambil berlari ke arahku, lalu dengan cepat ia mendorongku ke seberang jalannya.

“Di awass!!” itulah kata terakhir yg ku dengar saat dia mendorongku hingga aku jatuh terbentur pinggiran jalan itu dan tak sadarkan diri. Aku juga sempat terserempet sepeda motor lain di bagian rusukku hingga kulitku tersobek dan mengeluarkan darah. Keadaanku sudah tak bisa ku ceritakan lagi. Dunia seakan gelap dan tak tahu lagi bagaimana keadaannya. Kakiku terbentur beton pinggiran jalan dan aku terjatuh hingga kepalaku ikut terbentur aspal jalan. Kakiku dan seluruh badanku mengeluarkan banyak darah akibat terbentur beton dan juga terkena pingiran pagaran seng karena dorongan dari temanku yang begitu kuat.  Orang-orang dengan segera berkerumunan mendekatiku. Ada yang berteriak dan juga menangis histeris melihat keadaanku. 

Dengan segera aku dilarikan ke rumah sakit. Kaki kiriku mengeluarkan banyak darah dan mengalami  patah tulang terbuka. Tidak tahu bagaimana ceritanya aku bisa sampai ke rumah sakit. Akhirnya setelah 1 jam aku tak sadarkan diri, jam 4 sore aku kembali siuman. Kurasakan keadaan yg tidak biasanya. Terpasang di tangan kanan dan kiriku impuls yg dilengkapi dengan berbagai peralatan yg mengerikan yg ada di rumah sakit yg sering ku lihat saat aku berkunjung. Nafasku seakan tak bisa ku hembuskan. Banyak orang dan keluargaku yg berdiri di dekat ranjang tempat aku terbaring. Aku hanya bisa mengedipkan mata dan tak bisa mengeluarkan suara. Ibuku dan ayahku seakan tak mau mengeluarkan kesedihannya didepanku. Hal ini tampak matanya yg berkaca-kaca. Mereka seakan menahan tangisan yg dipendam karena sayangnya terhadap anaknya dalam keadaan terbaring saja di rumah sakit. 

Keadaanku saat itu benar-benar sangat tragis. Kaki kiriku yang dibidai dan seluruh wajahku yg lecet terkena aspal dan lembam.  Aku seakan menjadi manusia yang tak berdaya. Sempat kubayangkan bahwa aku sudah tidak memiliki kesempatan untuk hidup lagi. Sesaat kemudian aku menyadari bahwa aku baru saja mengalami kecelakaan, dan hal pertama yg kutanyakan pada orangtuaku adalah dimana temanku itu. Mengapa ia tidak tampak semenjak aku sadar dari tadi. Mereka mengatakan bahwa temanku itu baru saja pulang setelah membawakan aku ke rumah sakit karena keadaannya yg sedikit demam.

“Tadi si Alif memang disini tunggu kamu sadar, sekarang dia sudah balik dulu ke rumah karena nggak enak badan. Lagipula dia belum ganti baju sekolah yang kena darah kamu. Nanti dia juga balik lagi.” Ucap ibuku.

Sementara itu aku hanya mengangguk kecil dan percaya apa yang dikatakan oleh ibuku. Aku sempat merasakan pegal di kakiku karena kehilangan banyak darah. Hal ini membuatku tidak bisa bergerak sama sekali dan hanya terbaring seperti mumi yang ada di film-film.

Dua bulan telah berlalu. Keadaanku yg menjalani terapi obat tradisional di rumah akhirnya membaik. Sudah hamper dua bulan aku dibawa pulang ke rumah karena beberapa minggu dirawat di rumah sakit. Namun, Alif tak seharipun tampak menjengukku. Hal yang membuat aku bingung dan penasaran. Saat kutanyakan kemana temanku itu, kenapa ia tidak pernah tampak semenjak aku dirawat di rumah sakit hingga aku dibawa pulang ke rumah. Setiap kutanyakan kepada orangtuaku, mereka hanya menjawab bahwa sahabatku itu sibuk dan belum sempat menjengukku. Lagi-lagi kutanyakan dengan pertanyaan yang sama. Namun, jawabannya hanya dengan alasa bahwa temanku datang disaat aku terlelap. Jadi, ia tidak berani menggangguku tidur. Aku sempat curiga dengan sikap dan pernyataan keluargaku. Aku juga sempat beranggapan apakah temanku itu masih marah denganku atau ada alasan lain sehingga dia tidak pernah tampak semenjak aku dirawat di rumah sakit hingga aku kembali ke rumah. Hingga pada suatu hari aku kembali mencoba mencari tahu kepada teman-temanku tentang Alif temanku. Ku kirim SMS ke salah satu kawanku dengan trikku agar aku tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan temanku itu. Akan tetapi teman-temanku tak ada satupun yang tahu. Jawaban mereka sama seperti apa yang ayah dan ibuku jawab. Mereka berkata bahwa Alif pergi  sekolah setiap hari. Hanya saja mereka tidak tahu kenapa Alif tidak pernah datang menjengukku. Padahal seluruh teman-temanku dan guruku sudah datang menjenguk keadaanku. Bahkan orangtua Alif juga sempat datang beberapa hari yang lalu. Aku tidak percaya bahwa sikap temanku itu yang selama ini sabar tetapi berubah dalam sekejap menjadi orang pendendam. Aku tahu betul sifat dia seperti apa. Tidak mungkin hanya karena masalah pagi itu ia menjadi marah padaku.

Ternyata tak selamanya mangga bisa disembunyikan. Sewaktu-waktu akan tercium pula baunya. Akhirnya, alasan kenapa Alif tidak pernah hadir menjengukku terbongkar saat aku ngotot menanyakan ke salah seorang kakak kelasku. Hingga aku menerima pesan sms dari kakak kelasku.

Loh, kamu tiak tahu Di. Maaf kakak harus ceritakan ini padamu. Tapi kamu harus janji kamu bisa sabar menerima ini ya.” Balas kakak kelasku.
“iya kak. Saya janji. Bisa kakak katakan kemana Alif selama ini?” Balasku lagi
“Sebenarnya Alif sudah meninggal 2 bulan yang lalu Di. Kami sengaja tidak menceritakan ini padamu karena keadaanmu yang masih kritis saat itu. Kamu yang sabar ya” Balasnya lagi.
“Loh !! yang benar saja kak? Kakak jangan bercanda ah.” Balasku
“Iya Di, beneran kok. Dia meninggal tepat dua bulan yang lalu yaitu hari kamu kecelakaan itu.” Tegasnya dalam pesan SMS-nya.

Tanpa ku balas lagi pesannya. Aku hanya terkejut tak percaya dan seakan disambar petir di siang hari saat tahu bahwa temanku sudah meninggal tepat 2 bulan yang lalu. Aku merasa bersalah karena aku merasa bukanlah sahabat yang baik baginya. Sahabat macam apakah aku, temanku meninggal saja tidak tahu. Apa aku layak dikatakan sahabat? Dan  kenapa secepat itu ia pergi? kenapa sampai hati ayah dan ibuku menyimpan rahasia sebesar ini dariku. Kesedihanku tidak bisa ku bending lagi. Rasanya penyesalan itu datang berangsur-angsur dalam hatiku.

Setelah ku pastikan dari kakak kelasku, malamnya ku temui ayah dan ibuku. Kutanyakan dan ku perjelas bahwa kenapa selama ini mereka membohongiku. Berita sebesar ini bisa mereka rahasiakan dariku selama 2 bulan lebih. Akhirnya Ayah dan ibuku memperjelas bahwa ini semua demi kebaikanku. Aku tidak marah terhadap mereka, karena aku tahu alasan mereka termasuk logis karena ini demi kebaikanku juga. Mereka tidak ingin aku strees dan akan memperlambat kesembuhanku karena jika mengetahui temanku yg sudah bersamaku itu sejak masih kelas 1 SD tersebut sudah tiada dengan sebab-akibat menolongku dari kecelakaan saat itu. Tak bisa kukeluarkan kata-kata apapun saat itu. Tidak ada air mata yg keluar karena aku tidak tahu harus kucurahkan dalam bentuk apa kesedihanku.

Ternyata saat aku dilarikan ke rumah sakit, takdir lain telah terjadi pula bersamaan saat aku pingsan pada diri temanku saat itu. Menurut cerita saksi dan orang-orang yang berada di tempat saat itu, ternyata Alif masih ditengah jalan saat aku telah didorongnya dari ancaman maut tabrakan motor yg hampir menabrakku. Tanpa sempat ia mengelak lagi dari posisi dimana ia mendorongku, sebuah truk besar bermuatan sepeda motor dengan laju yg kencang dari belakangnya langsung melaju kearah temanku itu dan menjadikan keadaannya tak bernyawa di tempat itu juga. Alif mengalami cedera dalam yang cukup parah. Hal ini tampak pada sekujur tubuhnya yang tidak terluka namun hanya darah yang mengalir dari telinga dan mulutnya. Hanya itu saja yang dikatakan oleh orang-orang yang ada di lokasi saat itu yang melihat keadaan temanku. Hingga saat ini aku tidak tahu apa saja yg terjadi pada temanku itu karena aku tidak bisa mengingat ulang kejadian saat itu.

Langsung ku hubungi salah satu teman sekelasku. Ku minta dia mengantarkanku ke makam temanku itu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang ku dengar dari orang-orang di sekitarku. Apakah mereka hanya berbual atau apa entahlah. Aku ingin memastikan langsung ke tempat peristirahatan terakhir temanku itu.

Aku langsung diantar oleh temanku ke makam Alif. Sesampainya disana, dari kejauhan kulihat sebuah makam yg sudah agak lama dan tepat di nisannya bertuliskan nama temanku “Alif bin Zulkifli” dan tertulis pula tanggal meninggalnya tepat dimana 2 bulan yang lalu saat aku mengalami kecelakaan yg hampir merenggut nyawaku yaitu 10 Mei 2010. Bersimpuh aku didepan makam sahabatku itu. Kalian juga tahu bagaimana yang aku rasakan saat itu, merasa bersalah, berdosa, sekaligus berjasa dengannya. Aku yang tidak mendengarkan apa alasan dia terlambat pagi itu menjadi hal misteri terbesar dan ingin sekali ku tanyakan padanya jika waktu bisa diputar kembali. 

“Lif, aku minta maaf. Aku benar-benar teman yang tidak tahu balas budi, aku jahat lif. Aku minta maaf lif, sekarang katakan padaku apa alasan kamu terlambat saat itu. Aku mohon Lif, aku akan dengar semua itu. Aku belum layak menjadi sahabatmu lif.” Aku meminta maaf terhadapnya. Aku seperti orang gila yang dirundung rasa bersalah dan penyesalan dengan sikapku. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa takdir berkata lain. Air mataku saat itu tidak bisa ku bendung lagi. Aku merasa bersalah sekali dengan temanku itu. Kata-kata terakhir yang sempat ku dengar adalah seruan dia yang mengatakan awas dan mendorongku dari tabrakan motor saat itu. Aku tidak tahu harus apa. Penyesalan seakan menjadi hal terbesar yang harus ku akui yang terjadi dalam hidup ini. Ini semua akibat keegoisanku. 

“di sabar di. Udah kok, dia pasti memaafkan kamu. Diakan sahabat kita, jelas dia tidak pernah dendam denganmu. Biar dia tenang disana.” Ucap kawanku sambil mengelus pundakku.
“tapi ris, aku benar-benar menyesal ris. Aku yang pagi itu tidak mau mendengarkan alasan dia telat. Aku egois, aku emosional. Aku menyesal.” Ucapku lirih.

“udahlah, jadikan ini pelajaran berharga dalam hidupmu. Makanya untuk nanti ke depan bisa dijadikan pedoman untuk mengubah sikapmu. Aku yakin bahwa semua sudah menjadi garis takdir untuk setiap orang.”

Aku tidak menyesal dengan kepergian sahabatku itu, kadang yang membuatku sedikit merasa sedih adalah tentang alasan ia pagi itu. Aku ingin tahu apa alasan dia terlambat pagi itu. Dan sangat ingin kuminta maaf sebesar-besarnya terhadap dia karena aku tahu  selama ini aku belum menjadi sahabat yang baik baginya. Dia adalah sahabat yang paling baik yang pernah aku miliki dan belum ada gantinya untuk saat ini. mungkin saja orang lain sering mengatakan bahwa Alif adalah orang bodoh karena berteman dengan orang yang emosional sepertiku,  tapi dia tetap bersahabat denganku baik itu dalam keadaan susah maupun senang. Itulah hal yang membuat aku tidak pernah melupakannya.

Terkadang juga aku sendiri merenung, didalam keadaan yg tidak sedih terdapat pula kesedihan yang mendalam yg ku rasakan. Kesedihan itu kadang bercampur kebahagiaan pula dimana aku selalu memikirkan bahwa tuhan sudah mengirimkan seorang sahabat untukku selama ini. Ia telah mengorbankan nyawanya demi orang yang ia anggap sebagai sahabat tetapi belum memberikan kontribusi yang baik baginya. Seorang sahabat baginya yg mungkin sering membuat dia terluka perasaan dengan ocehanku yg berlebihan. 

Satu hal pula yg aku salut dan harus ku akui dari dia. Setiap kali aku marah dengan sesuatu baik itu OSIS atau apa, selalu amarah itu ku limpahkan kepada dia. Akan tetapi responnya yg ia berikan itu sangat berbalik dengan apa yg aku lakukan terhadapnya. Ia tidak pernah marah bahkan selalu mengerti bahwa aku sedang punya banyak masalah. Aku merasa berjasa dan merasa bersalah dengannya, andai saja waktu bisa diputar, aku ingin memperbaiki itu semua karena sangat banyak yg ingin ku perbaiki untuk kebaikannya. Tapi itulah garisan takdir yang mungkin setiap orang akan berbeda tanggapan. Aku yakin semua itu sudah kehendak-Nya dan aku selaku hamba tidak punya kuasa untuk melawan.

Aku selalu tersenyum sambil mecurahkan sedikit kebahagiaanku lewat setitik air mata dimana aku yakin dengan pernyataan yg selama ini ku pegang “Tuhan tidak pernah mengambil sahabatku, Tuhan hanya mengambil jiwanya akan tetapi suatu saat aku yakin bahwa Tuhan akan mengirimkan yg lebih darinya untuk menjadi perbaikan dalam diriku selama ini karena sifatku yang belum baik.” Dan pernyataan itu sudah terbukti, bahwa sekarang sahabatku sudah hadir dalam jiwa yg lain. Meski jiwa yang berbeda, aku yakin dialah sahabatku yg tuhan kirimkan untuk kesempatanku memperbaiki semua yang telah aku lakukan terhadap temanku itu. Dimana setiap kali aku melihat Ardhi, aku selalu melihat sosok Alif yang ada padanya. Setiap kali melihat dia, aku selalu merasa kejadian 6 tahun yang lalu itu terulang lagi dan rasanya aku punya kesempatan untuk meminta maaf kepadanya atas keegoisanku pada pagi itu yang tidak mau mendengar alasannya. Terimakasih Alif, kamu akan selalu menjadi teman dalam hidup saya dan insyaallah akan berjumpa di akhirat nanti. Aminnn

 Selamat jalan sahabatku, aku selalu mendoakanmu dan terima kasih atas sinar dan kesabaranmu menghadapi sahabat seegois aku. Aku yakin kamu sudah tenang disisi-Nya.

*nama tokoh dalam cerita adalah nama pengganti

Minggu, 31 Juli 2016

Cerpen Remaja 1 (Harapanku Selalu Bersamamu)




Harapanku selalu bersamamu
          Hujan yang turun deras, sederas hatiku yang pilu. Aku melihat keluar jendela yang terdapat dan tampak jelas hamparan Padang Rumput yang luas. Hatiku terasa tak tenang, karena hati siapa yang bisa tenang jika sahabat terbaiknya yang selama ini mendukung segala aktivitasnya sekarang sedang terbaring di Rumah sakit. Sahabatku sudah 3 hari dirawat di rumah sakit, aku masih mengingat 3 hari sebelumnya, kami pernah bertemu dan aku sengaja menemuinya karena aku ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting untuknya. Karena aku akan pergi esok hari untuk mengikuti lomba pidato bahasa inggris yang diadakan tingkat Provinsi.
 
Pada hari itu, aku bertemu dengannya di sebuah taman kota. Sesampainya disana, kami bertemu dan sebelum aku menyampaikan maksudku menemuinya, kami sempat bermain kejar-kejaran, dan tertawa bersama. Kami bercanda layaknya sepasang sahabat yang sudah lama terpisah dan kini telah bertemu kembali. Tak lama kemudian, aku mulai menyampaikan maksudku menemuinya dan aku yang memulai perkataan
“Syifa, aku mau bilang bahwa aku harus pergi besok untuk mengikuti lomba Debat English di tingkat Provinsi,”. Kataku dengan menahan sedikit nada. Lalu dia membalas,
“Hafiz, walaupun kamu akan pergi, yang paling aku harapkan dari kamu adalah jangan sekali kali kamu lupa terhadap kewajibabmu terhadap sang maha Pencipta. Aku janji, kita akan selalu bersama, aku yakin kok kamu akan membanggakanku dengan membawa pulang kemenangan untukku. Dan aku harap kamu akan selalu menjaga hubungan persahabatan kita selalu”. Katanya dengan suara terbata-bata. Lalu aku membalas perkataannya.

“Syifa, aku janji aku akan membawakan kemenangan dan kebanggan untuk Syifa, asalkan Syifa juga harus janji akan baik baik saja disini ya dan aku juga akan selalu menjaga hubungan persahabatan kita walaupun berbagai rintangan datang, namun kita selalu bersama”. Ucapku dengan suara yang tertahan dan air mata yang berlinang. Aku tak sanggup untuk meninggalkan dia. Apalagi sekarang dia dalam keadaan sakit-sakitan. Tapi apa boleh buat, aku terpaksa meninggalkannya demi menempuh impianku. Dia memandangku dengan wajah yang dihiasi air mata yang mulai meleleh. Akhirnya aku berkata lagi 

“Syifa, kamu tidak usah khawatir, aku pergi untuk sementara dan aku akan membawa kemenangan untukmu”. Dan Syifa menjawab. “Aku akan mendoakanmu, semoga Hafiz akan selalu di bawah lindungan Allah Swt. Dan aku mau ucapkan selamat jalan sahabatku. Aku selalu menantimu disini dengan jutaan harapan”. Tak lama setelah itu, kami pun pulang ke rumah masing-masing.

          Sesampainya aku dirumah, tiba-tiba Handphoneku berbunyi. Panggilannya ternyata dari temanku. Lalu aku mengangkat Hpku. Lalu aku mendengar suara yang tak biasanya, terdengar suara yang sangat ribut
dan kacau. Aku mulai berbicara dan dengan penasaran aku bertanya
“Hallo di, ada apa ?”. aku sejenak tertegun. Lalu dia menjawab “Hallo Fiz, kamu lagi dimana sekarang ? oa Syifa masuk rumah sakit”. Katanya

Dengan rasa yang tertegun dan menahan air mata yang hampir jatuh, hatiku begitu khawatir dan gelisah memikirkan keadaan Syifa. Aku takut akan terjadi sesuatu dengan sahabatku itu. Lalu aku menjawab “Di, kamu serius ? lalu dimana sekarang Syifa ? dan bagaimana keadaannya ?”. aku mulai gelisah. Lalu dengan singkat temanku menjawab “Dia udah di ICU, sekarang dia tidak sadarkan diri, mending kamu cepetan kesini”. Ucapnya dan tanpa aku sadari, dia menutup telponnya. Dengan hati yang bercampur aduk, aku segera berpamitan kepada orangtuaku. Aku langsung bergegas kerumah Sakit.
      

    Sesampainya di rumah sakit, aku melihat Syifa terbaring lemh di ruang ICU. Dia ditemani mamanya. Matanya juga belum terbuka, itu artinya dia masih tak sadarkan diri. Hatiku bergetar dan menahan air mata yang mulai keluar membasahi pipi. Aku langsung masuk dan mendekati Syifa. Dan ketika melihat aku datang, mamanya langsung mempersilakan aku masuk untuk menjenguknya. Aku mulai berbicara “Syifa, bangun, kenapa kamu sampai begini ? katanya Syifa ingin melihat aku sukses, katanya Syifa ingin melihat aku berjuang untuk mendapat juara ? tapi kenapa Syifa begini ? Ya Allah, Tolonglah sahabat hambamu ini, hamba tidak bisa hidup jika harus kehilangan dia, hamba tidak bisa melihat dia susah Ya Allah, tolong sembuhkanlah dia. Jika mungkin, hamba rela engkau tukarkan nyawa hamba demi kesembuhan dia ya Allah asalkan Syifa sembuh”. Ucapku dengan isak tangis yang sangat pilu. Aku terus memandang dia dan memegang erat tangannya.

          Tak lama kemudian, akhirnya Syifa sadarkan diri, aku melihatnya. Dan dengan keadaan yang sangat lemah, ia menoleh kepadaku dan berkata
“Hafiz, aku takut, aku takut kalau aku tidak bisa melihatmu lagi. Aku takut aku akan pergi dan meninggalkanmu sendiri”. Wajahnya terlihat lemah, lalu dia mendekap tanganku. Aku berkata kepadanya “Syifa, apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama dan tidak akan terpisahkan, kecuali Allah berkehendak, jadi syifa harus bertahan demi hafiz ya? Syifa harus kuat, Syifa harus sembuh demi Hafiz ya !”. aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa menahan tangisan yang tersimpan dalam hatiku dan air mata yang mulai berjatuhan.

          Setelah beberapa jam, aku ditelpon oleh orang tuaku. Mama dan papaku bilang bahwa aku harus segera berangkat untuk mengikuti lomba karena mobil yang menjemputku sudah datang kerumahku. Dengan rasa yang sangat perih bercampur sedih, dan dengan langkah yang berat harus ku tempuh. Lalu dengan kata kata terakhir aku kembali mengucapkan kata ku kepada sahabatku yang sudah sadar dan sedang berbaring di ruang ICU.

“Syifa, aku harus pergi ya sayang, aku harus pergi untuk mewujudkan impian kita,impian Syifa yang ingin melihat aku membawa piala besar untuk Syifa, tapi, aku tidak bisa meninggalkan Syifa dalam keadaan seperti ini”. Ucapku dengan kata terhenti-henti. Lalu Syifa menjawab “Hafiz, perlombaan itu lebih penting dari sakitku, kamu harus pergi ke sana, kamu harus membawa kemenangan untukku, aku mohon jangan khawatirkan aku, aku pasti akan baik-baik saja”. Ucapnya dengan kata yang lembut. Akupun berkata lagi “kalau itu yang Syifa inginkan, aku akan pergi dan aku berjanji akan membawakan harapan yang besar dan indah untuk Syifa , tapi Syifa juga harus janji bahwa Syifa akan sembuh dan aku ingin melihat Syifa yang seperti dulu, aku ingin melihat Syifa yang selalu tersenyum dan bahagia”. Ucapku dengan air mata berlinang. Aku sungguh berat meninggalkan dia. Apalagi aku menyimpan perasaan yang lebih kepada Syifa, yaitu selain sebagai sahabat, aku juga mempunyai rasa Cinta yang dalam untuk Syifa.

          Setelah meminta izin kepadanya, aku langsung pulang kerumah untuk bersiap-siap. Dan setelah beberapa jam, aku berangkat dengan mobil jemputan dan dengan hati yang sangat tercampur aduk, aku harus meninggalkan rumahku. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya aku sampai di tempat penginapan. Aku menginap dan istirahat di salah satu penginapan di dekat kota perlombaan Spech English. Aku disuruh istirahat oleh guruku kerana perlombaannya akan diadakan besok pagi. Sambil melepas lelah, ku mencoba menghubungi kerumahku. Anehnya, hp orangtuaku tak aktif. Aku mulai khawatir. Aku mencoba beberapa kali. Aku mencoba menelpon Syifa, namun  tak ada jawaban. Akhirnya aku hanya terdiam dan memikirkan keadaan Syifa dirumah sakit. Aku teringat akan kata-kata yang ia ucapkan padaku sebelum aku berangkat. Malam itu aku hanya memikirkan Syifa, akhirnya malam itu aku lalui dengan tanpa menutup mata.

          Keesokan harinya, lomba diadakan. Aku sangat bertekad ingin meraih piala yang ada didepanku tersebut. Aku ingin membawakannya dan memperlihatkannya kepada sahabatku disana, pasti dia akan sangat senang.

          Semua peserta telah tampil. Kini tinggallah aku dan seorang peserta lagi yang belum tampil. Aku berusaha agar bisa tampil semaksimal mungkin. Setelah selang beberapa waktu kemudian, aku pun tampil dengan performance yang sangat memuaskan bagiku. Aku sangat yakin dalam hati bahwa aku akan menjadi pemenang dan aku sangat mengharapkan itu.

          Setelah berselang beberapa jam, pengumuman pun mulai di umumkan. Hatiku begitu cemas, aku gundah kalau aku tidak menang, maka aku akan sangat mengecewakan Syifa yang sangat berharap agar aku menang. Pasti Syifa akan kecewa padaku. Aku terkejut dengan suara mikrofon yang memulai bersuara dengan perkataan
“The Winner of Spech English 2013 is ......”
Aku menjadi sangat penasaran. Lalu si Mc memulai menyambung kata lagi.
“Congrulations To Hafiz that has be a winner of Spech Englis 2013 that has cacth a best”. Katanya dengan sangat gembira dan riang.
Aku sangatlah terkejut, aku merasa sangat senang sekaligus menangis karena bahagia. Akhirnya, tanpa aku duga, tanpa aku sangka,aku bisa mendapat no. 1 di tingkat provinsi. Betapa bahagianya hatiku. Aku langsung naik keatas pentas yang sangat spektakuler. Aku menerima sebuah piala yang panjang nya sekitar 70 cm. Aku sangat bangga. Setelah turun dari pentas, aku langsung sibuk mencari guruku dan kembali ke penginapan dengan tujuan untuk cepat-cepat pulang ke rumah dan aku ingin memberi kejutan kepada Syifa. Hatiku begitu riang. Tanpa mempedulikan orang lain, aku sibuk sendiri. Aku pulang ke penginapan. Aku menyiapkan baju-bajuku dan pada saat itu Hpku berbunyi. Lalu aku angkat hpku. Dengan hati yang sangat riang, aku mulai bicara. Betapa terkejutnya ternyata telponnya dari Syifa.

“Hallo Assalammualaikum Syifa ? aku punya kabar gembira untuk Syifa, Syifa pasti senang mendengarnya.” Ucapku dengan hati gembira. Lalu aku heran ketika orang yang membalas perkataanku bukanlah Syifa melainkan mamanya. Dia berkata “Hafid, ini tante nak, tante punya kabar yang sangat buruk nak ! tante harap, kamu bisa menerima dan tabahkan semua ini ya nak !.” ucapnya. Lalu aku membalasnya “berita apa tante ? oa tante Syifanya mana ? dia sudah sembuhkan ?”. tapi yang aku dengar hanyalah tangisan. Aku semakin khawatir dan heran. Lalu mamanya berkata lagi

“Nak, Syifa sudah pergi meninggalkan kita, dia sudah tiada.” Ucapnya singkat. Aku berkata lagi dengan menahan air mata
“ah tante jangan bercanda, ini tidak lucu, tante tolong kasih hp sebentar sama Syifa hafiz ingin bicara dengannya.” Lalu mamanya membalasnya
“benar nak, tante tidak bohong, Syifa sudah pergi meninggalkan kita.” Ucapnya dengan disertai tangisan.

          Dengan rasa haru, tanpa sengaja hpku jatuh ke lantai. Aku menangis dengan sangat perih dengan rasa yang tertegun aku merintih. Aku berteriak dengan tangisan “Syifaaaaa, kenapa kamu pergi begitu cepat ? kenapa kamu tidak menunggu hafiz pulang ? aku sudah berusaha membawa semua keinginan Syifa, tapi kenapa ? kenapa Kamu tinggalkan aku senidiri ? aku tidak bisa bertahan tanpa kamu Syifa. Ya Allah, Kenapa engkau ambil orang yang sangat Hamba sayang ? kenapa engkau panggil satu satunya emas permata sahabat hambamu ini ya Allah ?”. aku merintih dengan perasaan yang sangat pilu.

Tak lama kemudian, aku pun bersiap siap untuk segera pulang. Mobil yang mengantarku sudah datang dan menunggu di parkir. Aku langsun berlari keluar penginapan dengan membawakan piala besar di pangkuanku. Dan aku masuk ke mobil. Dalam perjalanan pulang, hatiku berkata

“Ya Allah, kemana akan hamba bawa hati ini ? kemana akan hamba bawa hati yang sangat hancur ini? Siapa yang akan membuat aku tersenyum ? untuk apa piala ini ? untuk apa kemenangan ini ? kalau sahabat hamba telah engkau ambil. Ya Allah, hamba tidak sanggup hidup tanpa dia, hamba sangat merindukan dia, disaat hamba susah, disaat hamba sedih, siapa yang akan membuat hamba semangat lagi ?”. air mataku mulai membasahi pipiku. Rasanya, aku tidak bisa berkata apa apa lagi. Air mataku yang sudah berguyuran membawaku sampai dan tanpa terasa aku sudah sampai ke rumah. Aku tidak langsung pulang ke rumah, Tapi aku menyuruh sopir itu untuk mengantarku ke makam Syifa.

          Sesampainya disana, aku melihat sebuah makam yang baru saja dibuat. Tanahnya masih baru yang dihiasi bertaburan banyak bunga melati. Dan disana hanyalah yang terlihat Cuma batu nisan yang bertulisan nama SYIFA. Aku mulai melangkahkan kakiku mendekati makam Syifa. Aku menangis sambil berkata

“Syifa Sayang, aku sudah kembali. Aku sudah membawa kemenangan yang Syifa minta. Aku sudah kembali untuk persahabatan kita. Aku akan membahagiakanmu Syifa. Syifa, bangunlah, katanya kamu tidak akan pergi sebelum aku kembali. Katanya kamu ingin melihat aku membawakan piala besar untukmu. Ini aku telah kembali. Bangunlah Syifa, Syifa aku mencintai kamu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu sayang. Syifa aku mohon, jangan tinggalkan aku. Syifaaaaaa... ya Allah, buat apa semua ini ? buat apa aku hidup kalau tanpa dia ?”. akupun bersimpuh dimakamnya. Aku tak habis-habisnya membayangkan masa masa indah bersamanya. Dia begitu manis, baik, ramah, lucu, tapi sekarang yang tinggal hanyalah kenangan belaka.

          Setelah beberapa jam kemudian, hpku berbunyi. Ternyata mamaku yang menelpon. Aku mengangkatnya.
“Ya ma, assalammualaikum.aku sudah pulang, aku akan segera sampai”. Aku memulai berbicara. Lalu mamaku berkata “Alhamduliillah kamu selamat nak, yaudah, mama tunggu ya.” Kata mamaku.

                   Tak berapa lama, aku pulang dan sampai dirumah. Mamaku dan papaku langsung menyambutku dengan gembira. Mamaku berkata “Alhamdulillah ya Allah, anakku berhasil. Mama bangga sama hafiz.” Mamaku memelukku. Lalu mamaku menanyakan sesuatu sama aku
“Loh, kenapa kamu nak ? kok pucat sekali ?”. aku menjawab. “Ma, hafiz butuh istirahat, mungkin karena kecapean”. Kataku sedikit menyembunyikan tentang apa yang terjadi padaku. Lalu mamaku menyuruhku masuk kamar dan istirahat. Dan tidak lupa pula mamaku memberi sepucuk surat untukku. Katanya dari temanku.

          Aku masuk kekamar. Aku langsung mandi dan menghiraukan surat yang diberi mama tadi. Dan setelah mandi, aku mulai membaca surat tadi. Betapa tergetar hatiku ternyata surat itu dari Syifa, air mataku mulai keluar berderai. Dalam surat itu, Syifa berkata

“Hafiz, mungkin saat kamu melihat surat ini, kamu pasti akan terkejut dan merasa kecewa denganku. Aku sengaja menulis usrat ini khusus buat kamu agar kamu bisa belajar melupakan aku dan menerima kenyataan ini bahwa aku sudah pergi dari hidupmu. Aku pergi karena mungkin, sudah cukup disinilah janjiku untuk hidup didunia ini, aku tahu, bahwa kamu telah membawa piala besar untukku. Aku bangga denganmu hafiz, aku sangat menyayangi kamu. Aku mohon sama kamu hafiz, jangan pernah laupakan tentang hubungan persahabatan kita. Walaupun aku sudah tidak bisa menyemangati hidupmu, tapi yakilah bahwa aku selalu mendoakanmu. Jalanilah hidupmu dengan keceriaan dan ketakwaan kepada Allah. Karna jika kamu bahagia, aku akan turut bahagia. Karena aku tahu bahwa selama ini kamu juga mencintaiku. Begitu pula dengan ku. Aku sangat mencintaimu lebih dari seorang sahabat. Tapi cintaku padamu tidak akan berjumpa di dunia. Aku harus terlebi dahulu di panggil Allah. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu. Aku selalu mengingatmu, harapanmu akan selalu kunantikan walaupun aku sudah sangat jauh terpisah darimu. Aku selalu menyayangimu sahabatku. Jangan pernah kau deraikan air mata. Karena aku tidak ingin melihatmu sedih. Aku selalu menantimu di pintu Langit ini.


Tamat